Dengan perasaan deg-degan dan takut-takut, tanggal 22 Maret 2014 saya berangkat bersama rombongan Bearing Witness Greenpeace Indonesia. Meskipun saya gemar berkelana, tapi dari kota ke kota, bukan keluar masuk hutan atau rawa-rawa dan naik turun gunung. Alhamdulillah, ternyata tujuan utama Greenpeace bukanlah mengajak kami menerobos hutan, meskipun ada juga sih bagian itu, nanti saya cerita keseruannya, melainkan lebih ke hubungannya dengan masyarakat sekitar. Artikel tentang perjalanan Bearing Witness ini akan saya bagi tiga yaitu tentang Dosan, Hutan Kerumutan dan Tesso Nilo. Saya tambah lagi deh kalau masih pengin curhat. Hihihiii....
Kami berangkat agak sore dari Pekanbaru dengan tiga mobil. Peserta Pekanbaru hanya saya dan Zamzami dari Greenpeace, serta tiga sopir. Selebihnya peserta dari Jawa yaitu Gorga dari RACK Digital, Ines dari Greeneration Bandung, Aloy dari malesbanget.com, serta tentusaja dari Greenpeace yaitu Melanie, Jeri dan Afif. Kami juga didampingi bang Santo dari LSM Elang yang sudah lama mendampingi warga Dosan berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit. Saya, Iman dari Kalimantan dan Afif dari Malang adalah pemenang lomba blog yang diadakan Greenpeace.
Agak gimana gitu tiap perkenalan selalu disebutkan bahwa salah satu tujuan rombongan ini adalah mengantar para pemenang blog melihat sendiri apa yang terjadi terhadap hutan Indonesia, utamanya Riau. Ada perasaan bertanggung jawab untuk menyampaikan apa yang diutarakan penduduk setempat kepada dunia. Saya beruntung menunggu rombongan Jakarta sekitar dua jam sehingga sempat berbincang banyak dengan bang Kecang, penanggung jawab rumah singgah Greenpeace di Pekanbaru.
Sebagai blogger, kemampuan saya adalah bercerita, maka saya akan bercerita banyak. Soal teknis yang kurang detil, bisa dilihat di website Greenpeace Indonesia.
Jalan dari Pekanbaru ke Siak sudah lumayan bagus dibanding terakhir saya kesana, namun masih gelap, minim penerangan. Perlu waktu sekitar 3-4 jam untuk sampai di desa Dosan, kecamatan Pusako, kabupaten Siak. Kami langsung disambut dengan ikan juara hasil masakan bu Dahlan yang super enak sehingga mustahil enggak nambah. Bu Dahlan ini kejutan bagi saya karena ternyata beliau berasal dari Pekalongan, tempat saya tumbuh, tepatnya Kedungwuni. Bu Dahlan pun mendapat fans dadakan. Jumpa fans didapur akhirnya dibubarkan dan kami digiring untuk berdialog dengan pak Dahlan, pak Lurah, bang Jay, Andi dan dari perwakilan koperasi.
Dari dialog tersebut saya tahu kalau pak Dahlan yang mendapat julukan 'Jantan' inilah perintis perkebunan kelapa sawit di Desa Dosan. Beliaulah yang menularkan pengalaman yang didapat dari Lubuk Dalam dan membuat warga beralih dari perkebunan karet ke perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit tidak lantas membuat desa ini makmur, semua penuh perjuangan berat hingga sedikit demi sedikit meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dulunya termasuk daerah tertinggal. Meski bukan berarti pula masyarakat sudah menjadi juragan sawit yang kesana-kemari naik jip impor terbaru, tapi sekarang sudah banyak anak desa Dosan yang bersekolah minimal sampai SMK, beberapa kuliah.
Memang, di seputar Riau, setidaknya Pekanbaru, pemilik lahan sawit indentik dengan kemakmuran. Bagaimana tidak? Permintaan terhadap kelapa sawit terus meningkat untuk minyak sayur dan bahan baku kosmetik. Pemeliharaan sawit mudah dan bisa dipanen tiap minggu. Hanya perlu bersabar sekitar tiga tahun saja untuk membuat pohon sawit baru siap panen. Selama tiga tahun itu mungkin bisa menggunakan uang hasil penjualan kayu yang ditebang dari lahan yang disiapkan untuk perkebunan kelapa sawit.
Tapi warga Dosan tidak begitu. Mereka tetap sederhana meski tidak juga kekurangan. Mereka tidak kemaruk karena sadar dengan konsekuensi perkebunan yang membabi buta. Mereka adalah warga asli yang tinggal disana turun temurun, yang merasakan makin sempitnya lahan dan berbagai bencana akibat kekeringan. Meski daunnya berwarna hijau, kelapa sawit bukanlah tanaman penghijauan karena justru rakus air. Tanah gambut yang mendominasi wilayah ini dikeringkan dengan pembuatan kanal-kanal agar bisa ditanami. Gambut yang memiliki fungsi pengendalian air dan penyimpan karbon lalu rusak dan mematikan semua keragaman hayati yang ada diatas dan didalamnya. Gambut yang kering juga mudah terbakar, dan sekali terbakar sulit untuk padam. Kedalaman gambut yang bermeter-meter membuatnya mirip bara api yang siap terbakar lagi jika terkena angin. Kami sempat melihat sendiri bagaimana api tiba-tiba muncul dan membesar didekat kami berjalan.
Keberadaan LSM Elang disana selain mendampingi warga berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit, juga berusaha melindungi DAS (Daerah Aliran Sungai) Sungai Siak. LSM Elang memberi semangat pada warga untuk meningkatkan penghasilan melalu intensifikasi kebun yang sudah ada, bukan dengan ekstensifikasi seperti yang dilakukan perusahaan-perusahaan.
Desa Dosan di Kecamatan Pusako, Kabupaten Siak, juga memiliki danau Naga Sakti yang tidak pernah kering di musim kemarau. Danau ini dilindungi dari pemanfaatan fisik agar alirannya tidak habis sebelum mencapai sungai Siak, untuk selanjutnya mengalir terus sampai ke muara. Jika DAS tidak dilindungi, sungai Siak yang sudah mengalami sedimentasi hebat tak akan tertolong dan daerah-daerah disekitar alirannya akan mengalami kekeringan yang lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya.
Pak Lurah yang masih muda dan bersemangat memaparkan bahwa desa Dosan berusaha melindungi hutan yang tersisa dan danau Naga Sakti dengan menerbitkan perdes (peraturan desa), yang isinya antara lain tidak akan ada lagi pembukaan hutan untuk lahan baru serta pembatasan kepemilikan lahan perkebunan sawit 3 hektar per kk.
Malam itu kami menginap dirumah pak Dahlan, menghayati kehidupan pedesaan yang sederhana.
Keesokan harinya kami ke lapangan. Tujuan pertama adalah danau Naga Sakti. Sepanjang perjalanan kami melewati bekas kebakaran lahan hebat dikanan kiri. Asap masih mengepul dari dalam tanah. Sedih sekali melihat pemandangan seperti itu. Semua rusak, baik kelapa sawit, akasia, maupun tanaman alam lainnya. Akasia adalah tanaman yang sengaja dibudidayakan untuk keperluan industri bubuk kertas. Ada beberapa area dimana sawit dan akasia terbakar dalam satu lokasi. Menurut Zamzami, biasanya itu adalah lahan yang masih dalam sengketa antara warga dengan perusahaan.
Akses menuju danau Naga Sakti terjepit antara sumur BOB dan hutan lindung milik swasta. Itu cukup untuk menggambarkan makin sempitnya lahan desa. Danau Naga Sakti tenang dan kelam, menyimpan aura magis. Dari tayangan video Greenpeace ada kisah legenda naga didalam danau sehingga warga takut memancing. Tapi pak Dahlan hanya senyum-senyum berkilah ketika diminta bercerita. Air danau dilihat dari permukaan berwarna hitam, khas lahan gambut. Tapi ketika Andi mengambil airnya, ternyata jernih!
Di pinggir danau itu timbul pertanyaan dari pak Dahlan, apa yang bisa dilakukan terhadap danau ini untuk memberi nilai tambah pada masyarakat tanpa merusaknya. Kami tak bisa menjawab. Eh, enggak, Afif yang calon sarjana arsitektur mengutarakan banyak ide modern untuk pariwisata, sampai tentang kereta gantung segala. Tapi kembali ke soal bagaimana membuatnya tidak rusak itu yang susah.
Saya mengerti pemikiran pak Dahlan. Bagaimanapun warga desa sudah banyak berkorban untuk mempertahankan DAS dan danau Naga Sakti. Tak adil rasanya jika hanya mereka yang mati-matian menahan diri tanpa merasakan buah dari perjuangan mereka, sementara mereka juga terus-menerus terdesak oleh perusahaan-perusahaan besar. Mereka mungkin bisa menahan diri, tapi bagaimana dengan anak cucu mereka kelak yang mulai berasimilasi dengan kehidupan modern? Mereka harus diberi 'sesuatu' untuk menaikkan semangat.
Setelah itu kami berkesempatan melihat kebun kelapa sawit milik pak Dahlan dan pak Lurah. Kapling-kapling kebun tertata rapi seperti kapling perumahan. Tapi udaranya sangat panas, namanya juga perkebunan sawit dibawah jalur khatulistiwa. Matahari benar-benar menyilaukan. Kami melihat proses browning. Browning yang baik tidak boleh sembarangan, harus rapi. Kerapian itu tidak dimaksudkan supaya enak dipandang lo. Siapa juga yang mau merenung disitu? Kerapian ini ada hubungannya dengan absorbsi air dan pupuk supaya lebih irit dan merata.
Pak Dahlan juga menunjukkan tandan buah yang baik, yaitu yang buahnya besar dan hitam mengkilat seperti kelereng. Di area perkebunan ini terdapat parit-parit kering yang berubah menjadi jalur rakit pengiriman sawit jika musim penghujan. Untuk mencapai masing-masing area kami harus meniti jembatan kecil yang terbuat dari batang sawit yang dibelah. Enggak sia-sia ya, jadi pesenam andalan Riau (kidding) :D .
Pertemuan dengan pak Dahlan dan pak Lurah Dosan menumbuhkan harapan bahwa masih ada warga satu desa yang sekuat tenaga mengusahakan perkebunan kelapa sawit yang ramah lingkungan dan mempertahankan danau Naga Sakti agar tidak diganggu, yang hasilnya tidak hanya untuk mereka, tapi juga untuk kita semua, untuk dunia.
8 Comments
artikelnya sarat makna mbak....tentang permasalahannya saya ikut prihatin..mengenai solusinya...tentunya yang bisa menghasilkan rupiah..jadi rakyat sekitar mungkin akan lebih semangat dalam melestarikan alam yg tidak lagi ramah....saya share yah..siapa tau ada yang mau nyumbang ide ttg itu...
ReplyDeletesalam kenal mbak ^_^
belum ada ide mak, coba saya pikirkan dulu ya
ReplyDeleteseru banget bisa jalan-jalan ke tempat yang beda ya mak
Konten-konten seperti ini harus semakin diperbanyak, harus sering menulis tentang daerah-daerah di luar Pulau Jawa, karena Indonesia bukan hanya Pulau Jawa.
ReplyDeleteSelalu suka dengan tulisanmu, Lusi :)
perkebunan yang ramah lingkungan sepertinya harus terus digalakan ya mbak. Kalau tidak dimulai dari sekarang bisa bahaya kedepannya
ReplyDeleteMbaaaakk... aku terenyuh banget bagian inti tulisan ini... lahan gambut rusak, vegetasi mati, dikepung pengusaha kapitalis. Duuh.. hiks
ReplyDeleteMak, brarti danau ini kan sebetulnya punya kontribusi besar bagi perusahaan2 yg ada di sepanjang aliran sungai kan? *msh2an sy gak salah tangkep. Konservasi terhadap dearah hulu, termasuk danau ini harus diakui sebagai bentuk usaha pelestarian lingkungan yg secara ekonomis berkontribusi bg kehidupan masyarakat di sepanjang DAS smp ke hilir.
ReplyDeleteMengapa tidak mencoba menawarkan bentuk kontrak imbal jasa lingkungan? Rujukannya ada di UU tentang Perlindungan n Pemberdayaan Lingkungan. Di beberapa daerah sudah dilakukan konsep imbal jasa lingkungan ini. Coba bisa disearch tentang praktek tersebut di DAS Cidanau Banten.
Sy pernah ke sana utk menyusun NA n RUU tentang Konservasi tanah dan air. Jd masyarakat di hulu DAS Cidanau yg menjaga lingkungan secara tdk langsung menjaga supplai air DAS mendapat imbal jasa dr PT Krakatau Stell yang berada di hilir, yg kinerja perusahaannya bergantung pada debit air yg mengalir dr hulu Cidanau. Jadi Cidanau dsk tetap terjaga dan masyarakat mendapat imbalan (meski tak besar), sehingga ada symbiosis mutualisme. Masy di hulupun menikmati hasilnya, tanah mrk terjaga (tdk longsor), secara ekonomis tumbuhan/pohon yg mereka tanam memberikan hasil, dan ketersediaan air yang melimpah.
Sebenernya mau bikin tulisan ttg ini buat sekalian ikutan GA mak sungkar. Tp blm kelar2 msh di draft.
Semoga berjodoh ide-nya mak. Silahkan digoogling utk lebih lengkapnya. Konsep imbal jasa lingkungan mak
Eh itu maap mak salah ketik tuh UUnya, UU ttg perlindungan n Pengelolaan Lingkungan
ReplyDeleteBelum ada ide :( tapi asik ya jalan-jalan ke tempat berbeda dan mengedukasi jiwa kita biar lebih bisa menahan diri untuk mencegah bencana seperti yg dilakukan mereka :)
ReplyDeleteDear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji