Photo by Kaboompics .com from Pexels |
Bermula dari keluhan blogger anonim yang merasa suaranya tidak didengar. Sementara blogger yang punya nama, bersikukuh blogger anonim tidak usah didengar karena tulisannya tidak bisa dipertanggungjawabkan, alias dianggap surat kaleng. Seperti di artikel saya : Saya Blogger, saya ngeblog (jika itu yang dinamakan blogger) sudah lama, namun baru akhir-akhir ini saja saya meributkan sebutan itu.
Masalahnya bukan karena sekarang saya narsis, tapi karena semata-mata heran, yang bangga menyandang gelar blogger kok justru orang-orang yang hobi kopdar alias kopi darat? Bukankah esensi blogger sebenarnya adalah dunia maya, terlepas anonim atau punya nama? Jadi yang dikerjakan seorang blogger adalah rajin ngeblog, bukan rajin kopdar. Kopdar tidak ada salahnya, asal tetap memegang esensi “kedunia-mayaan” blogger, sehingga tidak menjadikan kopdar untuk menggalang kekuatan mencapai tujuan tertentu namun mengesampingkan blogger lain. Esensi blogger bukan pada punya atau tidaknya nama, melainkan sama-sama berada didunia maya.
Memang agak membingungkan dunia maya di Indonesia. Pengakuan atas eksistensi diri seolah lebih utama dibandingkan pengembangan kemampuan menguasai dunia maya itu sendiri. Saya sendiri bukan seorang “IT freak” sehingga tidak paham betul tentang aplikasi internet. Saya hanya senang menulis, makanya saya ada di jalur blog. Tapi seandainya kita lebih mengedepankan pengembangan penguasaan dunia mayanya, maka memiliki situs-situs yahud seperti Yahoo!, Facebook, Amazon, Twitter ataupun Googgle bukan tidak mungkin terjadi, apalagi kita memiliki juara-juara olimpiade matematika dan fisika tingkat internasional. Nama otomatis akan mengikuti. Seperti sekarang, siapa sih tidak mengenal Mark Zuckerberg, Jeffry Bezos, Sergey Brin dan Larry Page?
Namun jika nama yang kita pentingkan, dan ajang kopdar kita jadikan ajang pentasbihan atas nama tersebut, maka kejadian Ramaditya seharusnya menjadikan pelajaran. Betapa nama menjadi sedemikian penting diatas kejujuran dan kreatifitas. Bahkan sampai beberapa kali diundang diacara Kick Andy. Masih bagus akhirnya Ramaditya meminta maaf, tapi berapa banyak yang masih berlaku seperti Ramaditya yang dulu di antara dunia maya dan dunia kopdar?
Bahkan sekarang terdengar kabar sebenarnya blogger Indonesia akan diminta memakai identitas. Namun itu masih wacana. Dunia maya itu hanya bisa dibatasi oleh dunia maya itu sendiri. Misalkan karyawan kantor yang fesbukan terus menggunakan fasilitas kantor, bisa kita atasi dengan firewall. Begitupun dengan situs-situs porno. Seketat apapun peraturan pasti akan dibobol juga oleh hal yang sama. Katakanlah jika kita menggunakan identitas sebagai blogger, apa yang akan pemerintah lakukan dengan identitas tersebut? Dengan identitas, si pemegang identitas wajib mematuhi aturan yang diberikan oleh si pemegang identitas.
Dahulu kita tidak membayangkan dunia maya akan semaju ini, aturan dibuat agar suatu kemajuan tetap memiliki kendali agar tidak merusak tatanan masyarakat yang ada. Namun sebenarnya tatanan masyarakat juga tidak stagnan, melainkan juga ikut tumbuh berkembang. Maka diperlukan pembuat-pembuat aturan yang logis dan progresif, bukan defensif. Jika defensif kita hanya akan menjadi bangsa yang meringkuk gemetaran digertak tetangga kita yang lebih kecil. Semakin kita defensif, kita akan semakin tidak masuk akal. Katakanlah identitas itu sudah diberlakukan, bukankah tidak menjamin bahwa tulisan akan sesuai dengan kehendak yang memberi identitas? Lalu apa? Disensor dulu sebelum di-post? Wow, kekhawatiran yang terlalu mengada-ngada tapi bisa saja terjadi di dunia yang “defensive-freak”.
Mau berat ke dunia maya-nya atau kopdar-nya itu pilihan masing-masing. Tidak ada yang mengharuskan memilih yang mana. Saya ngeblog karena saya menyukai kebebasan mengekspresikan diri di dunia maya. Saya tidak ingin kebebasan saya diganggu, seperti halnya saya tidak akan mengganggu mereka yang mengaku blogger tapi lebih sering ngumpul di café daripada ngeblog.
Memang agak membingungkan dunia maya di Indonesia. Pengakuan atas eksistensi diri seolah lebih utama dibandingkan pengembangan kemampuan menguasai dunia maya itu sendiri. Saya sendiri bukan seorang “IT freak” sehingga tidak paham betul tentang aplikasi internet. Saya hanya senang menulis, makanya saya ada di jalur blog. Tapi seandainya kita lebih mengedepankan pengembangan penguasaan dunia mayanya, maka memiliki situs-situs yahud seperti Yahoo!, Facebook, Amazon, Twitter ataupun Googgle bukan tidak mungkin terjadi, apalagi kita memiliki juara-juara olimpiade matematika dan fisika tingkat internasional. Nama otomatis akan mengikuti. Seperti sekarang, siapa sih tidak mengenal Mark Zuckerberg, Jeffry Bezos, Sergey Brin dan Larry Page?
Namun jika nama yang kita pentingkan, dan ajang kopdar kita jadikan ajang pentasbihan atas nama tersebut, maka kejadian Ramaditya seharusnya menjadikan pelajaran. Betapa nama menjadi sedemikian penting diatas kejujuran dan kreatifitas. Bahkan sampai beberapa kali diundang diacara Kick Andy. Masih bagus akhirnya Ramaditya meminta maaf, tapi berapa banyak yang masih berlaku seperti Ramaditya yang dulu di antara dunia maya dan dunia kopdar?
Bahkan sekarang terdengar kabar sebenarnya blogger Indonesia akan diminta memakai identitas. Namun itu masih wacana. Dunia maya itu hanya bisa dibatasi oleh dunia maya itu sendiri. Misalkan karyawan kantor yang fesbukan terus menggunakan fasilitas kantor, bisa kita atasi dengan firewall. Begitupun dengan situs-situs porno. Seketat apapun peraturan pasti akan dibobol juga oleh hal yang sama. Katakanlah jika kita menggunakan identitas sebagai blogger, apa yang akan pemerintah lakukan dengan identitas tersebut? Dengan identitas, si pemegang identitas wajib mematuhi aturan yang diberikan oleh si pemegang identitas.
Dahulu kita tidak membayangkan dunia maya akan semaju ini, aturan dibuat agar suatu kemajuan tetap memiliki kendali agar tidak merusak tatanan masyarakat yang ada. Namun sebenarnya tatanan masyarakat juga tidak stagnan, melainkan juga ikut tumbuh berkembang. Maka diperlukan pembuat-pembuat aturan yang logis dan progresif, bukan defensif. Jika defensif kita hanya akan menjadi bangsa yang meringkuk gemetaran digertak tetangga kita yang lebih kecil. Semakin kita defensif, kita akan semakin tidak masuk akal. Katakanlah identitas itu sudah diberlakukan, bukankah tidak menjamin bahwa tulisan akan sesuai dengan kehendak yang memberi identitas? Lalu apa? Disensor dulu sebelum di-post? Wow, kekhawatiran yang terlalu mengada-ngada tapi bisa saja terjadi di dunia yang “defensive-freak”.
Mau berat ke dunia maya-nya atau kopdar-nya itu pilihan masing-masing. Tidak ada yang mengharuskan memilih yang mana. Saya ngeblog karena saya menyukai kebebasan mengekspresikan diri di dunia maya. Saya tidak ingin kebebasan saya diganggu, seperti halnya saya tidak akan mengganggu mereka yang mengaku blogger tapi lebih sering ngumpul di café daripada ngeblog.
Demikian pula saya tidak tidak akan mengganggu Pesta Blogger ++ yang juga mengundang komunitas dunia maya lain seperti facebook, twitter, kaskus dan sebagainya. Walaupun sebenarnya lebih enak didengar jika tanpa ++ dan pesta tersebut hanya diperuntukkan kalangan blogger baik yang tergabung dalam komunitas maupun tidak, profesional maupun amatir, anonim maupun bernama. Atau jika merasa kurang meriah dan harus melibatkan komunitas lain (karena namanya pesta kan harus meriah), tidak usah memaksakan diri menggunakan ++, ubah saja menjadi socmed party atau hajatan dunia maya, internet bash atau kenduri offline.
2 Comments
Tulisan yang menarik. Seseorang ingin menampilkan identitasnya atau tidak didunia maya itu adalah hak yang bersangkutan. Namun pada prakteknya kredibilitas seorang seolah berkurang ketika dia memilih menjadi anonim. Berdasarkan kasusnya, ketika berlindung di balik anonim seseorang jadi lebih ekspresif, bahkan agresif, membuka diri, karena dia merasa tidak akan menerima konsekuensi logis /hukuman sosial dari setiap perkataannya.Beda dengan keseharian di dunia nyata.
ReplyDeleteNamun itu tidak menjadikan apa yang di utarakan berkurang kualitasnya (asal bukan caci maki saja).
Kopi darat itu salah satu tools membangun pertemanan, rasa solidaritas, dan kepercayaan...karena akan ada kelegaan bahwa..."oh, dia nyata.' bagi beberapa orang. Sehingga kredibilitas ybs naik. Tapi benar, kalau lebih banyak kopdar daripada menulis itu jadi..ehm...gimana ya?
Yg jelas bikin bokek :)
DeleteDear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji