Judul: Mati, Bertahun Yang Lalu
Penulis: Soe Tjen Marching
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Oktober 2010, cetakan pertama
Pic by Gramedia |
Saya tertawa terpingkal-pingkal sekaligus merasakan pahit yang dalam ketika Soe Tjen memparalelkan kisah cinta Titi DJ – Indra Lesmana – Sophia Latjuba dengan hari-hari si tokoh merawat papanya, seorang mantan wartawan, yang menderita berbagai macam penyakit disebuah rumah sakit kelas kambing.
Diceritakan Titi DJ putus dengan Indra ketika sang papa pulang dari rumah sakit. Ketika Indra mulai pacaran dengan Sophia, papanya meringis kecapekan dipernikahan kakaknya. Sophia bergelantungan di piano Indra dan menyanyikan “peluklah diri ini kasih…”, sewaktu sang papa kembali kerumah sakit. Sang kakak menyayangkan lagu ini tidak keluar duluan supaya menjadi theme songnya dengan istrinya. Sang tokoh dengan pahit menjadikannya theme song untuk menggeredek sang papa ke rumah sakit. Ketika Sophia dan Indra memamerkan bayi Eva, bersamaan dengan sang tokoh menyodorkon pispot untuk sang papa. Sang tokoh memalingkan diri pada Sophia dan Indra untuk mengalihkan perhatian dari kelamin tua papanya, yang digambarkan sedemikian buruk dan membuatnya tidak percaya itulah yang menciptakannya. Saat Sophia dan Indra merenggang, semakin sulit papanya kencing. Sang tokoh harus menunggui pispot itu cukup lama, sehingga dia mengalihkannya dengan bernyanyi: Bintang kecil dilangit yang tinggi… Lirik itu terus digumamkannya sampai sang papa meninggal: aku ingin terbang dan menari, jauh tinggi ke tempat kau berada.
Bagi sang tokoh, orang bisa hidup itu karena pengalihan demi pengalihan dari ketidaksukaan yang dihadapi.
Saya belum pernah mendengar nama Soe Tjen dalam dunia pernovelan. Saya tertarik pertama kali karena covernya yang ringkas tapi menonjol. Dengan warna pink, saya duga novel ini adalah untuk remaja. Namun saya heran karena yang memberi komentar disampul belakang adalah orang sekaliber Richard Oh. Kelihatan tidak nyambung antara cover dengan Richard Oh. Namun karena buku ini tidak terlalu tebal dan kebetulan saya sedang tidak ingin membaca novel tebal, saya impaskan keheranan saya.
Kecurigaan saya pada nama Richard Oh terbukti. Sejak halaman pertama, novel ini sudah memenjara otak saya untuk terus membaca sampai selesai. Soe Tjen mengisahkan hal-hal esensial tentang eksistensi manusia. Dia mempertanyakan hal-hal yang selalu kita pikirkan tapi tidak berani kita ungkapkan karena takut dianggap tidak percaya kitab. Namun demikian, novel ini sama sekali bukan novel tentang agama, atau mempertanyakan agama, tapi tentang eksistensi manusia secara universal.
Soe Tjen mampu berkata jujur, mengeluarkan semua yang mengendap dalam pikiran kita, namun tidak pernah kita bahas karena kita sudah menyerah dengan pengulangan-pengulangan, kebiasaan sehari-hari dan ketidaksengajaan hidup. Padahal ketika memandang suatu kejadiaan, itulah pertanyaan-pertanyaan yang berkelebat dalam pikiran diam kita.
Anda bisa menganggap ini kisah horor, namun sebenarnya bukan, ini adalah pengaduk alam kejujuran kita. Ini adalah satire yang sangat menyayat. Tokohnya sendiri banyak dikehidupan kita, seorang perempuan dalam keputusasaan, mantan aktifis, yang terbenam dalam kertas-kertas pekerjaan disebuah klinik, namun otaknya memikirkan cita-cita untuk mendapatkan beasiswa keluar negeri. Soe Tjen juga menceritakan hipokrisi kakaknya yang berdarah campuran beberapa etnik dalam resesi ekonomi 1998. Dia juga berkisah dari SDSB sampai facebook, dan kerinduan akan seorang sahabat atau kakak untuk berbagi perasaan.
Namun sebagai karya manusia, tentu saja tidak seluruhnya diterima dengan sempurna oleh manusia lain, misalnya oleh saya. Menurut saya, novel ini akan lebih menggigit jika tidak ada kutipan orang-orang terkenal, yang bertebaran di novel ini. Saya selalu mengatakan “the best quote is your quote”. Jika sudah bisa menulis sedemikian bagus, mengapa tidak membuat kutipan-kutipan sendiri saja? Orang sering menggunakan kutipan-kutipan terkenal untuk menguatkan kadar intelektualitasnya, padahal itu tidak perlu sama sekali, sudah tercermin dari tulisannya.
Tidur adalah saatnya manusia menikmati mati sesaat. Mati yang tidak menakutkan karena kemudian ia bisa hidup kembali. Tapi bagaimana dengan mati? Menakutkankah? Hidup adalah candu yang paling berbahaya. Bisakah membuat mati hidup kembali karena mencandu hidup?
Bagi sang tokoh, orang bisa hidup itu karena pengalihan demi pengalihan dari ketidaksukaan yang dihadapi.
Saya belum pernah mendengar nama Soe Tjen dalam dunia pernovelan. Saya tertarik pertama kali karena covernya yang ringkas tapi menonjol. Dengan warna pink, saya duga novel ini adalah untuk remaja. Namun saya heran karena yang memberi komentar disampul belakang adalah orang sekaliber Richard Oh. Kelihatan tidak nyambung antara cover dengan Richard Oh. Namun karena buku ini tidak terlalu tebal dan kebetulan saya sedang tidak ingin membaca novel tebal, saya impaskan keheranan saya.
Kecurigaan saya pada nama Richard Oh terbukti. Sejak halaman pertama, novel ini sudah memenjara otak saya untuk terus membaca sampai selesai. Soe Tjen mengisahkan hal-hal esensial tentang eksistensi manusia. Dia mempertanyakan hal-hal yang selalu kita pikirkan tapi tidak berani kita ungkapkan karena takut dianggap tidak percaya kitab. Namun demikian, novel ini sama sekali bukan novel tentang agama, atau mempertanyakan agama, tapi tentang eksistensi manusia secara universal.
Soe Tjen mampu berkata jujur, mengeluarkan semua yang mengendap dalam pikiran kita, namun tidak pernah kita bahas karena kita sudah menyerah dengan pengulangan-pengulangan, kebiasaan sehari-hari dan ketidaksengajaan hidup. Padahal ketika memandang suatu kejadiaan, itulah pertanyaan-pertanyaan yang berkelebat dalam pikiran diam kita.
Anda bisa menganggap ini kisah horor, namun sebenarnya bukan, ini adalah pengaduk alam kejujuran kita. Ini adalah satire yang sangat menyayat. Tokohnya sendiri banyak dikehidupan kita, seorang perempuan dalam keputusasaan, mantan aktifis, yang terbenam dalam kertas-kertas pekerjaan disebuah klinik, namun otaknya memikirkan cita-cita untuk mendapatkan beasiswa keluar negeri. Soe Tjen juga menceritakan hipokrisi kakaknya yang berdarah campuran beberapa etnik dalam resesi ekonomi 1998. Dia juga berkisah dari SDSB sampai facebook, dan kerinduan akan seorang sahabat atau kakak untuk berbagi perasaan.
Namun sebagai karya manusia, tentu saja tidak seluruhnya diterima dengan sempurna oleh manusia lain, misalnya oleh saya. Menurut saya, novel ini akan lebih menggigit jika tidak ada kutipan orang-orang terkenal, yang bertebaran di novel ini. Saya selalu mengatakan “the best quote is your quote”. Jika sudah bisa menulis sedemikian bagus, mengapa tidak membuat kutipan-kutipan sendiri saja? Orang sering menggunakan kutipan-kutipan terkenal untuk menguatkan kadar intelektualitasnya, padahal itu tidak perlu sama sekali, sudah tercermin dari tulisannya.
Tidur adalah saatnya manusia menikmati mati sesaat. Mati yang tidak menakutkan karena kemudian ia bisa hidup kembali. Tapi bagaimana dengan mati? Menakutkankah? Hidup adalah candu yang paling berbahaya. Bisakah membuat mati hidup kembali karena mencandu hidup?
3 Comments
Halo,
ReplyDeleteIni adalah ulasan yang bagus sekali.
Cuma satu saja komentar saya. Ketika anda menyayangkan banyaknya kutipan dari orang-orang terkenal di novel. Dan juga pertanyaan anda "mengapa tidak membuat kutipan-kutipan sendiri saja?".
Sebenarnya, kalau dicermati, saya justru menyanggah kebanyakan kutipan-kutipan tersebut. Jadi, saya mengutip tidak sekedar mengutip tapi justru mengkritisinya. Dengan arti lain, saya justru membuat kutipan sendiri dari situ.
Tapi makasih sekali lagi apresiasinya. Sangat menarik!
Halo Soe Tjen,
ReplyDeleteWah suatu kehormatan mendapat komentar dari penulisnya langsung. Waduh, saya senang sekali.
Saya tunggu novel selanjutnya.
Terima kasih.
Sama-sama. Saya senang juga dengan ulasannya.
ReplyDeleteDear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji