Buku bacaan untuk anak-anak usia sepuluh kebawah selalu disajikan dengan gambar-gambar menarik, dengan bentuk lucu dan warna-warni. Kata atau kalimat dirangkai sesederhana mungkin agar mudah mereka mengerti. Namun bagaimana dengan buku bacaan anak-anak diatas sepuluh tahun?
Photo by Lina Kivaka from Pexels |
Anak-anak yang tanggung ini belum menyukai teenlit, lagipula memang belum saatnya. Namun mereka juga sudah tidak menyukai buku anak-anak mereka dulu, karena kalimat yang sangat sedikit, membuat mereka bisa menyelesikannya dalam waktu yang sangat singkat. Di toko buku dan perpustakaan, saya lihat mereka mengambil novel dengan cerita anak-anak.
Novel anak-anak memberikan sebagian besar, meski tidak semua, yang dibutuhkan anak-anak tanggung itu. Anak-anak sudah memiliki kemampuan baca untuk melahap novel yang biasanya berisi 100 halaman keatas. Meskipun novel anak minim ilustrasi, dan kalaupun ada berwarna hitam putih, tapi anak-anak usia ini sudah bisa berimajinasi dengan stimulan yang sangat sedikit.
Novel anak terjemahan seperti Lima Sekawan, Mallory Towers, bahkan Harry Potter sangat tebal itu kemudian mengisi segmen ini. Novel lokal tak kalah digemari seperti karya-karya Tere Liye, Asmanadia, sampai yang agak serius seperti Negeri Lima Menara. Tapi apakah benar buku-buku yang sedang mereka baca itu sudah memenuhi keinginan mereka atau hanya karena tidak ada pilihan lain saja?
Saya pernah nonton film Hollywood yang judulnya sudah lupa, tapi tentang perusahaan mainan anak-anak yang menggunakan anak-anak sebagai staf ahli Research and Development department. Dari film itu tampak, betapa yang dikira baik dan lucu oleh staf ahli dewasa itu sebenarnya basi sekali dimata anak-anak. Saya membayangkan jika penerbit perlu juga meminta anak-anak untuk membaca sebuah novel anak-anak sebelum disetujui untuk dicetak, dibandingkan menyerahkan semua keputusan pada editor dewasa dengan alasan sudah berpengalaman. Padahal meski editor tersebut sudah berpengalaman, tapi bisa dipastikan dia sudah lupa bagaimana cara pandang anak-anak ketika membaca.
Bagaimana sebuah novel anak bisa menjadi best seller? Mungkin isinya memang disukai anak-anak. Mungkin juga karena kehebatan tim marketingnya dalam berpromosi. Lalu saya iseng saja bertanya pada anak-anak penyuka novel. Mereka baru saja menyelesaikan membaca dua novel anak lokal yang masuk jajaran best seller, bahkan mereka sedang melihat-lihat judul buku lain dari pengarang yang sama yang ada di halaman paling belakang. Saya perkirakan mereka ingin membeli atau membaca salah satu judul novel tersebut.
“Bagus bukunya, tadi? Suka?”
“Suka. Bagus.”
“Yang paling kamu sukai tentang apanya? Yang paling tidak kamu sukai tentang apanya?”
Mereka saling berpandangan tidak mengerti. Lalu salah seorang mencoba menjawab.
“Ceritanya bagus, tapi nggak suka pengertiannya saja.”
“Pengertian? Maksudnya bagaimana?”
“Itu looo… yang bacaannya panjang-panjang, nggak ada percakapannya.”
“Oooh… penginnya yang seperti apa?”
“Yang banyak percakapannya.”
“Tapi bisa juga kalian selesaikan novel-novel itu.”
“Iya. Kalau pas bagian bacaan, bukan percakapan, bacanya nggak benar-benar. Sepintas saja, kadang lompat karena sudah ngerti.”
“Sudah ngerti?’
“Iya. Kalau belajar juga begitu. Kalau sudah ngerti kami lompati saja, bosan membacanya.”
Saya hanya manggut-manggut.
Novel anak-anak memberikan sebagian besar, meski tidak semua, yang dibutuhkan anak-anak tanggung itu. Anak-anak sudah memiliki kemampuan baca untuk melahap novel yang biasanya berisi 100 halaman keatas. Meskipun novel anak minim ilustrasi, dan kalaupun ada berwarna hitam putih, tapi anak-anak usia ini sudah bisa berimajinasi dengan stimulan yang sangat sedikit.
Novel anak terjemahan seperti Lima Sekawan, Mallory Towers, bahkan Harry Potter sangat tebal itu kemudian mengisi segmen ini. Novel lokal tak kalah digemari seperti karya-karya Tere Liye, Asmanadia, sampai yang agak serius seperti Negeri Lima Menara. Tapi apakah benar buku-buku yang sedang mereka baca itu sudah memenuhi keinginan mereka atau hanya karena tidak ada pilihan lain saja?
Saya pernah nonton film Hollywood yang judulnya sudah lupa, tapi tentang perusahaan mainan anak-anak yang menggunakan anak-anak sebagai staf ahli Research and Development department. Dari film itu tampak, betapa yang dikira baik dan lucu oleh staf ahli dewasa itu sebenarnya basi sekali dimata anak-anak. Saya membayangkan jika penerbit perlu juga meminta anak-anak untuk membaca sebuah novel anak-anak sebelum disetujui untuk dicetak, dibandingkan menyerahkan semua keputusan pada editor dewasa dengan alasan sudah berpengalaman. Padahal meski editor tersebut sudah berpengalaman, tapi bisa dipastikan dia sudah lupa bagaimana cara pandang anak-anak ketika membaca.
Bagaimana sebuah novel anak bisa menjadi best seller? Mungkin isinya memang disukai anak-anak. Mungkin juga karena kehebatan tim marketingnya dalam berpromosi. Lalu saya iseng saja bertanya pada anak-anak penyuka novel. Mereka baru saja menyelesaikan membaca dua novel anak lokal yang masuk jajaran best seller, bahkan mereka sedang melihat-lihat judul buku lain dari pengarang yang sama yang ada di halaman paling belakang. Saya perkirakan mereka ingin membeli atau membaca salah satu judul novel tersebut.
“Bagus bukunya, tadi? Suka?”
“Suka. Bagus.”
“Yang paling kamu sukai tentang apanya? Yang paling tidak kamu sukai tentang apanya?”
Mereka saling berpandangan tidak mengerti. Lalu salah seorang mencoba menjawab.
“Ceritanya bagus, tapi nggak suka pengertiannya saja.”
“Pengertian? Maksudnya bagaimana?”
“Itu looo… yang bacaannya panjang-panjang, nggak ada percakapannya.”
“Oooh… penginnya yang seperti apa?”
“Yang banyak percakapannya.”
“Tapi bisa juga kalian selesaikan novel-novel itu.”
“Iya. Kalau pas bagian bacaan, bukan percakapan, bacanya nggak benar-benar. Sepintas saja, kadang lompat karena sudah ngerti.”
“Sudah ngerti?’
“Iya. Kalau belajar juga begitu. Kalau sudah ngerti kami lompati saja, bosan membacanya.”
Saya hanya manggut-manggut.
0 Comments
Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji