Beberapa waktu lalu saya mendengar issue bahwa di Pekalongan sudah ada pindang tetel beku yang bisa dibawa keluar kota. Gosip ini saya konfirmasi ke akun Twitter @infopekalongan tapi belum ada yang membenarkan. Pagi tadi saya membaca reply @infopekalongan ke followernya bahwa megono kalah pengembangan dengan gudeg, yang berkat kerjasama antara Bu Tjitro dan LIPI berhasil membuat gudeg kalengan. Secara kebetulan pula banyak teman saya yang mudik ke Pekalongan, lalu dengan sadisnya mengupload foto-foto makanan atau jajanan khas Pekalongan heheheee….
Dengan derajat kengileran yang luar biasa penginnya itu, sebenarnya mudah saja bagi saya untuk minta kepada teman-teman saya. Mereka akan dengan senang hati mengirimkan apapun yang saya minta, gratis! Tapi masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah mungkin pengusaha kuliner Pekalongan bisa mulai mencari cara untuk mengakomodasi keinginan orang-orang ngiler tapi jauh seperti saya.
Saya termasuk yang percaya bahwa makanan atau jajanan khas itu hanya enak jika dimakan di daerah asalnya. Karena itu saya jarang membawa pulang makanan khas daerah-daerah yang pernah saya kunjungi, tapi bukan berarti pelit ya. Tapi adakalanya karena suatu hal, misalnya ingin mengirimi seorang teman atau dikompori dengan foto-foto mudik seperti diatas, saya ingin merasainya kembali. Minta pada teman itu mudah, tapi kan gengsi, jadi ingin membeli sendiri.
Entah mengapa pengusaha kuliner Jawa termasuk kurang cekat-ceket soal kalengan dan delivery ini, padahal fasilitas packing dan kurir tak ada halangan. Rendang kalengan misalnya, sebelum gudeg Bu Tjitro sudah menjadi oleh-oleh praktis yang dibawa sampai keluar negeri. Jika teman-teman punya kesempatan main ke Bukittinggi, singgahlah ke Itiak Lado Mudo yang letaknya di pojokan terpencil menuju Ngarai Sianok. Kalau tidak kenyang makan disitu, sudah disediakan itiak beku dengan harga Rp 110.000 seekor dan tinggal dihangatkan dirumah. Itiak yang pedesnya amit-amit ini sangat enak karena kaya bumbu, khas masakan Minang. Levelnya sampai telinga mendidih deh.
Soal delivery bahkan pempek Candy di Palembang punya kerjasama yang ciamik dengan TIKI. TIKI punya perwakilan di toko tersebut, jadi tidak perlu pusing kemana-mana. Dengan cara berjualan per paket sesuai kardus-kardus yang telah distandarkan, kita tinggal mendaftar alamat saudara atau teman seluruh Indonesia, bayar di kasir, dan tunggu ucapan terima kasih dari orang-orang yang kita kirimi. Jika tidak sedang di Palembang bagaimana? Ah, itu pertanyaan jadul. Tinggal telpon, transfer, konfirmasi, dan tunggu si pempek mendatangi kita. Saya belum pernah melihat cara kerjasama dan service seperti itu untuk bakpia Jogja dan krupuk usek Pekalongan. Heheheee….
Rasanya bagaimana? Untuk itiak dan pempek tidak ada beda, tapi itiak jangan lebih dari sehari dijalan karena akan mencair. Sedangkan pempek yang oleh penjualnya ditaburi tepung, saya tes 3 hari delivery via TIKI tidak mengubah rasa. Rendang dan gudeg agak berbeda karena melalui proses pengalengan untuk membuatnya tahan hingga satu tahun. Rasa tetap enak meski ada citarasa dan aroma yang hilang. Tapi namanya juga kepingin, ya diembat juga dong.
Saya mengerti, pengusaha kuliner khas daerah rata-rata sudah sangat sibuk di toko/restoran. Tapi jika mau belajar seperti pempek Candy yang menstandarkan packingnya dan bekerjasama dengan TIKI, mungkin kesibukan itu akan terkurangi. Melakukan pengalengan bisa juga dicoba, meski saat ini pemasarannya belum gencar baik di supermarket atau online. Bahkan ketika saya makan di Bu Tjitro saya harus bertanya dulu apakah benar ada gudeg kaleng, bukannya ditawari oleh pelayan restorannya lebih dulu, atau paling tidak ada fotonya di daftar menu. Baru setelah itu saya juga tahu ternyata bisa dipesan via telpon.
Makanan yang terbaik adalah yang fresh. Tapi untuk makanan khas daerah, rasanya kita sudah tidak memikirkan lemak, proses dan sebagainya. Tahunya rasa kangen itu harus diobati. Saya pernah melihat situs keluarga Bongiovi yang menjual saus pasta secara online. Okey, pertamanya memang karena ngefans berat dengan anggota keluarga Bongiovi, yaitu Jon Bonjovi. Tapi tadi saya membayangkan, jika kuliner khas kita juga bisa dipasarkan secara online oleh keluarga-keluarga Indonesia yang membuatnya secara turun-temurun. Jika generasi muda bisa melakukannya, seperti Maicih, makanan-makanan tradisional lainnya seharusnya bisa juga, apapun bumbunya, termasuk yang bersantan.
0 Comments
Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji