Minggu malam adalah saatnya saya mengecek pemasukan Ladaka Handicraft selama akhir pekan. Begitu keluar gang kampung kami dan memasuki jalan raya, saya dibuat terheran-heran dengan menyalanya sebagian besar lampu jalan. Lampu-lampu yang masih baru itu langsung dipadamkan ketika PON XVIII Riau berakhir dan saat itu tiba-tiba dinyalakan kembali. Belum lagi ada sepasang polisi dan anggota TNI di setiap persimpangan jalan. Ada apa? Tak ada keramaian atau kemacetan berarti didaerah yang memang biasanya sepi selepas maghrib.
Tak lama kemudian, saya berpapasan dengan rombongan mobil dengan pengawalan polisi. Tidak ada kendaraan yang harus berhenti atau minggir. Rombongan itu lewat begitu saja seperti umumnya rombongan pejabat. Tapi karena penjagaan dan lampu tadi, saya jadi teringat mungkinkan wapres Budiono yang lewat untuk membuka Peparnas XIV. Tapi mengapa di kompleks stadion Rumbai, bukan di stadion utama di Panam, di ujung kota yang satunya?
Setelah mengkonfirmasinya dengan anggota saya yang pernah menjadi panitia PON XVIII ternyata benar dugaan saya tadi. Saya langsung trenyuh, betapa kita tidak memberikan perhatian yang minimal tidak terlalu jauh beda dengan PON XVIII. TV tidak gencar memberitakan, Kementrian Pemuda dan Olahraga tidak gencar berpromosi, bahkan baliho yang besar-besarpun masih tentang PON (hanya sebagian kecil yang sudah bertuliskan Peparnas XIV). Sayapun bertekad untuk menonton pertandingannya, sama seperti yang saya lakukan ketika PON.
Peparnas adalah singkatan dari Pekan Paralympic Nasional, yaitu pekan olah raga khusus untuk atlet berkebutuhan khusus. Mereka juga diberi kesempatan untuk menunjukkan prestasi seperti atlit-atlit PON. Di tingkat internasional, mereka juga diberi kesempatan sama setelah Olimpiade. Cabang-cabang olahraga yang dipertandingkan tidak sebanyak PON.
Sepulang saya dari Mal Ciputra, lokasi outlet Ladaka Handicraft, saya sempat memastikan rasa penasaran saya dengan mampir ke stadion. Acara pembukaan cukup ramai tapi tidak sampai macet seperti pembukaan PON, lantaran kurangnya pemberitaan media. Esok harinya saya datangi lagi stadion dan sempat ragu karena didalam kompleks tidak ada tanda-tanda keramaian. Setelah memutar di kompleks yang cukup besar itu, barulah saya menemukan lokasi event yang dipusatkan di arena atletik diujung belakang kompleks.
Pertandingan yang sedang berlangsung adalah lempar cakram, lompat jauh dan lari 200 meter putri. Lempar cakram cukup seru dengan kejar-kejaran lemparan terjauh. Sedangkan lompat jauh sulit diikuti karena posisinya yang sangat jauh dari tribun penonton. Yang paling seru adalah lomba lari 200 meter putri.
Untuk lomba lari tersebut dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu untuk tuna grahita, tuna netra dan tuna daksa. Tuna grahita adalah penyandang kekurangan daya pikir. Dalam lomba ini mereka berlari seperti atlit kebanyakan, sungguh kencang. Postur mereka juga sama atletisnya. Untuk kategori tuna netra atau tidak mampu melihat, cara berlomba sedikit berbeda, yaitu didampingi guide sebagai penuntun lintasan. Tangan peserta dan guide diikat, yang tentunya memerlukan latihan yang sangat tekun agar keduanya bersinergi dengan baik dan berlari sama kencang. Tuna daksa adalah peserta dengan anggota tubuh kurang lengkap. Meski mereka berlari cukup kencang, disinilah airmata saya jatuh.
Meski saya paham bahwa yang mereka butuhkan adalah kesempatan dan semangat, bukannya belas kasihan, tak urung saya gagal menahan airmata. Apalah arti cacat jika mereka mampu melakukannya dan apalah artinya sempurna jika kita tidak mampu melalukannya? Pada saat itu saya berpikir tidak benar ada istilah cacat atau sempurna dengan melihat berapa jari kaki yang mereka miliki dan yang kita miliki. Jika mereka bisa berlari lebih kencang dibandingkan dengan orang yang memiliki sepuluh jari kaki, bukankah mereka lebih sempurna?
Karena sudah terlalu sore, saya tidak bisa melanjutkan menjadi supporter yang tidak memihak manapun alias bersorak-sorak bagi siapapun yang berlari. Rencana menyoraki renang juga terpaksa tidak dilakukan. Sudah dua hari ini saya berencana menonton lagi tapi sayang hujan turun deras dari siang hingga sore hari.
Perhatian kita pada para atlit berkebutuhan khusus memang jauh dari memadai dan ini bukan semata-mata salah penyelenggara. Pemerintah pusat, media dan kita semua seharusnya bisa memberikan perhatian yang tidak terlalu jauh dibanding dengan PON karena mereka juga bagian dari kita dan mereka berprestasi. Saya hanya berharap waktu itu untuk meramaikan Peparnas melalui twitter, tapi apalah saya melawan arus berita KPK vs Polri. Hanya satu tweet saya tentang Peparnas yang di-retweet oleh mas @suryaden, blogger dari Jogja. Dan saya agak sedikit lega ketika difollow dan foto-foto saya di-retweet oleh @infoRiau. Akun ini sangat gencar memberitakan tentang Peparnas XIV dengan foto-foto yang bagus.
Menonton Peparnas bukanlah untuk membandingkan pemberian Allah. Sayapun tak bisa bersyukur bahwa saya lebih baik dari mereka karena anggota tubuh saya lebih lengkap, karena nyatanya mereka bisa menggunakan tubuh mereka dengan lebih baik dari saya. Menonton Peparnas sesungguhnya adalah perayaan hidup, berbagi kebahagiaan.
1 Comments
saking kurangnya info mengenai PON, anak2 sekolah jaman sekarang bahkan tdak tahu apa itu PON. Pascal saja tanya kemarin PON itu apa. Thanks loh mbak sovenirnya dipakai tulis2 sama Alvin
ReplyDeleteDear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji