Photo by Anna Shvets from Pexels |
Sebenarnya hari ini saya sudah niat banget menulis tentang bagaimana tokoh-tokoh dunia bisa menghasilkan karya besar justru ketika sedang terpenjara. Tapi tiba-tiba di group ada diskusi yang cukup panas tentang kartu kredit. Hal ini dipicu dengan pendapat pro dan kontra antara yang setuju dan tidak setuju menggunakan kartu kredit sebagai alat transaksi.
Pilihan menggunakan apapun sebagai alat transaksi baik itu cash, m-banking, internet banking ataupun kartu kredit dilandasi berbagai macam latar belakang. Yang cash kebanyakan karena takut tidak bisa mengendalikan diri dan takut terbelit hutang. Yang menggunakan m-banking dan internet banking demi alasan kepraktisan. Sedangkan yang menggunakan kartu kredit lebih banyak dengan alasan untuk jaga-jaga jika ada kebutuhan mendesak dan tidak punya uang cash.
Sebaliknya, banyak alasan pula mengapa orang menghindari penggunaan alat pembayaran diatas. Cash misalnya, terlalu merepotkan dan tidak aman, terutama bagi perempuan. Saya sendiri sudah pernah 4x kecopetan. Meski ada fasilitas debet, tapi nyatanya justru lebih banyak alat untuk menggesek kartu kredit dibanding alat debet di toko-toko. M-banking dan internet banking seringkali mengalami ganguan sinyal. Khusus untuk internet banking, masih banyak yang meragukan keamanan situs tersebut meski bank telah menjamin dengan berbagai cara, misalnya dengan sistem token dan sebagainya. Sedangkan yang paling ditakuti dari kartu kredit adalah ketidakmampuan mengendalikan diri tadi.
Namun, pembayaran menggunakan kartu kredit saat ini sudah semakin sering dilakukan. Booking tiket pesawat dan booking hotel melalui internet, istirahat di lounge bandara, belanja keperluan sehari-hari, hingga nonton, sudah menggunakan kartu kredit. Bahkan untuk booking tiket pesawat dan hotel di situs tertentu tidak mau menggunakan transfer, harus menggunakan kartu kredit. Bayangkan jika kita bepergian bersama keluarga besar yang memerlukan kepastian akomodasi, alangkah repotnya jika tidak ada kartu kredit, meski tetap saja masih bisa membayar cash dengan datang ke counter. Menurut teman saya yang pernah ke Amerika, bahkan cash sudah jarang dipakai disana, ibaratnya tidak bisa hidup tanpa kartu kredit.
Bagi ibu-ibu, kartu kredit sudah digunakan untuk keseharian, misalnya belanja ke supermarket dan membayar makanan di restoran. Supermarket tertentu sering memberikan diskon 10% yang artinya penghematan, begitu pula dengan restoran-restoran. Kebutuhan mendadak seperti anggota keluarga yang sakit, bisa diatasi sementara dengan kartu kredit. Teman saya bahkan juga menggunakannya untuk berbelanja keperluan tokonya.
Kartu kredit memang bisa mengamankan keadaan kita sementara atau membantu banyak urusan agar lebih praktis. Tapi kartu kredit juga bisa menjadi lubang jebakan yang mengerikan jika tidak bisa mengendalikan diri karena bunga pinjamannya sangat tinggi. Kartu kredit bukanlah ATM untuk memenuhi semua kebutuhan sehari-hari kita termasuk kebutuhan akan uang cash untuk jajan. Kartu kredit adalah alat pembayaran untuk memudahkan kegiatan saja. Apa yang kita bayarkan itu bukanlah uang kita, tapi pinjaman dan kita harus mengembalikannya.
Sampai disini sudah ada kesepakatan bahwa semua pilihan ada kurang lebihnya. Tinggal kita pilih mana yang paling bisa menyelesaikan kebutuhan kita. Diskusi menjadi ramai karena kartu kredit dikaitkan dengan gaya hidup. Yang setuju menggunakan kartu kredit, mengganggap yang tidak memakai sebagai kuno. Yang tidak setuju menggunakan kartu kredit, menganggap yang menggunakan sebagai bergaya hidup mewah. Bahkan saking emosional menyebut yang perempuan sebagai kaum sosialita. Hehehe…. Berlebihan sekali ya.
Jika membaca penjelasan diatas, sudah jelas bahwa tak semua pengguna kartu kredit adalah dari kaum sosialita, karena perempuan-perempuan sosialita tidak berbelanja ke supermarket, mereka akan menyuruh asisten. Jika sempat mengamati kasir supermarket, pengguna terbanyak justru ibu-ibu biasa. Meski banyak yang menggunakan kartu kredit untuk mengkredit apa yang tidak bisa mereka beli secara cash, tapi tujuan yang ditetapkan oleh bank sebenarnya adalah untuk kepraktisan. Karena itu, mulai tahun ini BI membatasi jumlah kartu kredit yang bisa dimiliki seseorang, tidak lagi berderet-deret seperti dulu. Meski banyak berita tentang kekerasan oleh debt collector, tapi perlu dicermati bahwa kebanyakan berawal dari gagal bayar angsuran. Jika bisa mengendalikan diri dan tidak menunggak angsuran, tentu tidak akan punya masalah. Meski adapula yang jadi korban salah administrasi atau salah sasaran.
Ada satu hal yang dikemukakan salah satu teman yang bekerja sebagai pejabat bank daerah, bahwa kepemilikan kartu kredit juga menunjukkan kredibilitas orang tersebut dimata bank. Limit kartu kredit itu progresif, semakin lancar, limit akan terus dinaikkan, sebagai bukti bertambahnya kepercayaan bank terhadap nasabahnya. Kredibilitas nasabah ini sangat penting jika kita memerlukan dana segar (cash) untuk berbagai kebutuhan, misalnya untuk modal usaha, karena bank juga memiliki produk kredit tanpa agunan. Sebaliknya, jika kredibilitas kita tidak baik, kita akan terkena blacklist, yang berlaku secara nasional . Nah!
Idealnya, kita tidak punya hutang dan bisa berqurban seperti mak Yati yang pemulung itu. Tapi peristiwa ideal itu hanya terjadi pada orang-orang tertentu, sedangkan sebagian besar lainnya harus menghadapi rumitnya urusan keuangan. Soal memakai atau tidak memakai kartu kredit itu bukan soal penting karena daya jelajah, kegiatan dan kebutuhan orang lain berbeda-beda. Siapapun berhak memilih cara bayar yang paling memudahkan hidupnya dengan jujur. Memberikan cap terhadap pilihan cara membayar orang lain itu sama sekali tidak perlu, karena kita tidak bersamanya 24 jam, tidak tahu kegiatannya dari menit ke menit dan juga karena bukan kita yang mbayarin inih. :)
3 Comments
Laik dis :)
ReplyDeleteCc bukan gaya hidup... Kebutuhan akan transaksi yg lebih praktis mjd smakin banyaknya penggunaan cc.
Btw ternyata diskusi di grup yg rame n bersliweran itu bisa disajikan dgn cepat dlm postingan yg enak dibaca. :). Salute....
kl kata sy gak perlu di jadiin perdebatan sebetulnya.. krn tergantung kitanya.. setuju mbak, setiap org kan punya urusan masing2 lagian bayarnya juga sendiri2.. :D
ReplyDeleteBagi yg tdk bs memanage keuangan, sebaiknya jgn pk CC. Krn ada bbrp kasus termasuk di org2 yg sy kenal, merasa punya CC akhirnya main gesek sana-i, giliran keluar tagihan pusing sendiri.. Jd kl mau py CC kita hrs bs kontrol diri dulu..
Sama lah ceritanya kayak operator pra bayar sm pasca.. Banyak yg ngeributin ke sy krn sy lebih suka pake yg pasca.. Katanya apa sy gak sayang uang, bisa2 tagihan membengkak.. Kadang sy suka geli sendiri, sy yg pake kok org yg ribut.. Kalopun bengkak juga sy yg bayar sendiri.. Hehee.. Tp kenyataannya kan tagihan sy masih termasuk terkontrol utk kemampuan sy lah.. :D
Sy pribadi juga termasuk yg butuh CC.. Karena sy kurang nyaman bawa uang cash banyak2.. Selain bikin tebel dompet, sy juga suka teledor, naro uang di mana aja.. Jd sy bawa secukupnya aja.. Sisanya sy bawa CC atau DC..
aku pakai kartu kredit untuk autodebet smeua pembayaran mbak, nah nanti kita tinggal bayar satu kali aja ke CC itu :) males bayarnya kalau terpisah2.
ReplyDeleteDear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji