Barusaja saya blogwalking ke beberapa blog yang membicarakan socmed dari sudut pandang yang berbeda. Tapi ada yang menarik, yaitu satu artikel yang mengupas tuntas tentang keburukan socmed, tapi anehnya dia sendiri melakukan persis seperti yang ditulisnya itu, yaitu menyampah, alias mengobral kekesalan yang hanya dirinya sendiri yang paham di twitter. Yang menjadi pertanyaan bukan mengapa dia masih bertahan di socmed jika socmed penuh keburukan seperti yang digambarkannya, tapi mengapa saya bisa tahan dengan orang seperti itu? Wkwkwkkk.... Melenceng jauh ya, fokusnya? Tidak, memang inti yang mau saya obrolkan disini adalah tentang bagaimana menjaga fokus.
Photo by Ravi Sharma on Unsplash |
Saya, dan mungkin teman-teman semua tak menyangka bahwa kita bisa sampai di era dimana bising itu tidak membutuhkan suara, melainkan hanya baris demi baris tulisan yang terus mengalir tanpa henti. Bagi orang lain mungkin mudah jika seperti itu, tinggal delete saja semua akun socmed. Bagi saya tidak semudah itu karena saya memiliki tanggung jawab kepada usaha yang menghidupi beberapa pengrajin dan sekarang ditambah tanggung jawab kepada publisher buku saya.
Seperti para pengemban tanggung jawab lainnya, saya berusaha menjalankan sebaik-baiknya. Kadang berhasil, kadang juga tidak berhasil. Yang jelas, kita tidak boleh meninggalkan tanggung jawab, termasuk jika harus menyelesaikannya dengan baik. Meski tak jarang pula saya harus dengan lebay mengakui, "Apadaya, aku hanya seorang perempuan, sedang PMS pula." Heheheee.... Kurang lebih inilah yang saya lakukan. Disclaimer: prosentase keberhasilannya hanya 50%. Jadi ini bukan kiat, apalagi kunci sukses. Ini hanya sharing saja.
1. Manusia Selalu Punya Dua Sisi
Suatu kali saya mem-follow akun pembela kaum marjinal. Akun ini kelihatannya sangat humanis dan punya program-program menarik. Saya juga mendukungnya dengan RT tweet-tweetnya ketika akun tersebut dibully. Keadaan berubah karena banyak yang simpati. Akun ini di atas angin dan tapi keadaan masih normal. Tak lama kemudian, gantian akun ini menyindir-nyindir orang lain. Bukan hanya satu, tapi siapapun yang tidak berkenan dihatinya akan disindir habis, dari mulai sindiran halus hingga sindiran kasar dan jorok. Kita tak selalu sependapat dengan orang lain. Tapi menurut saya, cara-cara itu sudah berlebihan.
Kesimpulannya, manusia selalu punya sisi baik dan buruk. Jika kita mampu mengabaikan sisi buruknya, tak masalah, bukan? Jika tak mampu, tinggalkan saja, tak usah komentar, tak usah stalking. Bagimana dengan menyadarkannya? Well, di socmed, orang hanya akan membaca yang mau mereka baca. Jangan buang-buang waktu.
2. Gender Tidak Menjelaskan Apapun
Benarkah perempuan lebih cerewet daripada laki-laki? Menurut saya, pendapat itu salah besar. Karena kenyataannya, di socmed banyak sekali akun laki-laki yang cerewetnya minta ampun, segala macam dikomentari atau dinyinyiri, dari mulai tweet portal berita, tweet orang lain, layanan masyarakat, politik, ekonomi, bahkan dunia perempuan yang tak mereka pahamipun mereka komentari dari pagi hingga dinihari. Entah apa pekerjaannya hingga sempat terus-menerus seperti itu, mengamati dan mengomentari atau menyindir orang lain. Sebaliknya, banyak juga perempuan yang bicara kasar dan galaknya minta ampun. Entah apa masalahnya, meski mengaku bahagia tapi semua orang yang tidak sependapat dengannya kena marah.
Kesimpulannya, jika bisa mengabaikan karakter yang tidak sesuai dengan asumsi publik terhadap suatu gender, tidak masalah bukan? Jika tidak bisa, ya sudahlah, gak usah disimak lagi, bikin pusing dan eneg saja.
3. Tujuan Orang Lain Bukan Otoritas Kita
Memang senang sekali jika ada yang berbagi pengetahuan dengan kita, tapi itu tidak lantas membuat kita mau diajari, bukan? Itulah sebabnya di socmed banyak yang menggunakan istilah sharing/berbagi dibandingkan istilah-istilah lain. Karena di socmed kita tidak memiliki keterkaitan apa-apa kecuali kerelaan masing-masing. Jika kita punya idealisme, yang bisa kita lakukan adalah menyebarkan dan memberikan pemahaman agar orang menerima idealisme kita. Jika orang lain tidak menerima, atau memahami tapi tak mau mengikuti, bukanlah hak kita untuk mengatakan orang tersebut salah. Misal, ketika kita menganjurkan orang lain untuk monetize semua akun socmednya, tidak lantas yang tidak mau kita katakan merugi. Bisa saja di tempat lain dia sudah bekerja keras, sehingga di socmed dia hanya mencari teman saja. Sebaliknya, jika ada teman-teman yang me-monetize habis akun-akunnya kita tidak berhak juga melarang karena di ranah publik, orang boleh semaunya asal tidak melanggar UUITE.
Kesimpulannya, jika kita bisa mengabaikan teman-teman yang menggunakan akun mereka tapi tidak sesuai dengan idealisme kita, tidak masalah, bukan? Tapi jika itu mengusik pikiran kita, lebih baik kita "mute" saja. Ntar darah tingginya kumat, loh.
4. Kamu Tak Bisa Selamatkan Dunia
Berapa banyak sih persoalan dunia itu? Yang bisa ngitung saya kasih hadiah lo. Heheheee.... Tapi setahu saya, ketika terbangun, maka masalah dimulai. Bisa karena kesiangan, listrik mati, air tidak menetes dan sebagainya. Begitu kita melangkah keluar rumah, masalah bertambah lagi. Tapi kita bisa lalui semua itu, apapun caranya. Kita harus sadari bahwa socmed adalah forum terbuka, yang dengan demikian semua yang ada didalamnya membawa masuk masalah masing-masing. Jangan pernah sekalipun menganggap masalah kita yang terpenting meskipun berkaitan dengan kemanusiaan. Jika kita bercita-cita untuk menyelamatkan dunia, fine! Tak apa! Tapi dunia kita, dan dunia akun-akun sekitar kita tak sama. Ada perbedaan cara pandang, kepentingan dan hubungan. Misalnya kita memiliki misi membantu pengungsi bencana alam, sementara yang merespon misi kita tidak seperti yang kita harapkan, tak lantas kita boleh menyinyiri orang lain. Kita tak berhak menanyakan berapa yang orang lain habiskan untuk belanja dan berapa untuk sedekah. Bukan karena itu tidak pada tempatnya, terlebih karena kita tidak tahu keseharian orang lain. Jangan-jangan dia sudah bertindak lebih dari yang kita lakukan, hanya saja tidak bergabung bersama dengan misi kita.
Kesimpulannya, jika kita bisa tahan dinyinyiri orang yang sedang punya misi dan anggap saja mereka benar-benar berjuang, tak masalah bukan? Tapi jika tak tahan, "mute" saja. Kita tidak bisa menyelamatkan seluruh dunia. Yang penting kita punya tanggung jawab untuk menjadi manusia yang berguna dimanapun juga.
5. Socmed itu Bukan Tentangmu
Barusaja buka twitter, eh ada orang no mention, tapi kok yang disindirkannya itu mirip keadaan kita? Waduh, jangan geer dulu. Selain beragam, manusia juga punya kemungkinan memiliki keadaan yang sama, lo. Kalau setiap ada kata-kata yang nyaris sama dengan keadaan kita lalu kita pikirkan, fiuh, kita bisa stress setiap saat, enggak sempat mikir yang lainnya. Selama tidak menyebut langsung nama kita, abaikan saja, bahkan jika benar-benar mirip. Jangan gunakan energi untuk membahas praduga-praduga.
6. Socmed Bukan Arena Balap
Socmed itu sejatinya juga ruang pamer dan promosi. Habis beli gadget baru, ituuu saja yang dibahas. Habis dapat hadiah lomba, ituuu saja yang disebut-sebut. Seharusnya kita bisa mengabaikan perasaan "panas" karena setiap orang berhak untuk ber-euforia. Saya pun akan senang sekali jika mendapatkan sesuatu yang baru. Lebih tidak bagus lagi jika perasaan "panas" itu membuat kita terdistraksi dengan menginginkan apa yang orang lain punya. Gadget, misalnya. Oke, gadgetnya memang keren, tapi apa kebutuhan dan kemampuan kita sama dengan orang tersebut? Realitas akan membuat kita mengabaikan hal itu, memisahkan antara yang kita butuhkan dengan yang kita inginkan. Demikianlah pula dengan hadiah lomba. Kita lalu ikut-ikutan mengejar jalan yang sama untuk mendapatkan hadiah. Coba dilihat lagi apa tujuan utama kita. Apakah kita punya cukup waktu untuk untuk mengejar itu semua sementara kita sedang memimpikan hal lain? Realitas akan membuat kita mengabaikan itu, meninggalkan kesenangan sesaat untuk mengejar yang lebih bermakna.
7. Socmed Itu Bukan Kehidupan
Tahu istilah FOMO? Itu adalah akronim dari Fear Of Missing Out. Tanda-tandanya antara lain bangun tidur sudah ngintip socmed. Begitu sampai desk kerja langsung membuka semua tab komputer sehingga sambil bekerja bisa mengamati apa yang terjadi di socmed. Me-refresh berulah-ulah agar update secepatnya. Mencermati semua perkembangan termasuk portal media. Pokoknya jangan sampai ketinggalan berita baik gosip teman maupun gosip nasional, baik informasi dunia terkini sampai masalah daerah. Kadang gejala FOMO tidak harus diikuti dengan sering ngetwit atau komentar, banyak juga yang silent reader karena berbagai hal.
Well, ketahuilah, dengan atau tanpa kita, dunia tetap akan berputar. Abaikan saja sebagian besar yang tak ada hubungannya dengan kita, fokus saja dengan pekerjaan atau rencana kita. Saya tidak mengatakan harus mematikan gadge,t karena banyak yang bekerja menggunakan gadget termasuk saya. Yang ingin saya katakan adalah bahwa socmed itu bukan kehidupan, melainkan hanya corong informasi yang jenisnya ditentukan oleh pemilik akun. Jadi jangan serahkan hidup kita pada orang lain, melainkan kita sendiri yang harus memilih sedikit dari sekian banyak, lalu fokus dengan diri kita sendiri.
Nah, berhubung prosentase keberhasilannya cuma 50%, yaaah anggap saja masukan dari teman, bukan kunci sukses atau semacamnya.
14 Comments
Suka banget dengan poin no.5 "Socmed itu Bukan Tentangmu", Mak. Karena saya pernah mengalami selisih paham karena org yg saya sindir ga berasa, yg berasa malah org lain. hehe
ReplyDeleteIntinya, sosmed harus digunakan dengan bijak ya, Mak. *padahal saya juga masih suka error* hehe
paaaaaas..... banget sama obrolan aku tadi pagi sama suamiku tentang socmed. Suamiku komen ya prioritas hidup kita apa....
ReplyDeletesuka banget sama yang nomor 6
Karakter serta gaya khas penulisan mbaak Lusi cukup jelas...apalagi dengan sederetaan ulasan masalah yang dikupas detail. Yeesss, thks lot mbak sudah dapat masukan yang berarti.
ReplyDeleteUntunglah aku udah melewati masa-masa itu, Mbak :)
ReplyDeleteSekarang melongok internet ya kalau ada waktu longgar aja atau jika ada yang ingin dicari. AH, baru tau soal FOMO ituh
Kalo dulu sering apa-apa aku tulis di socmed. Sekarang untungnya sudah menjauh dari socmed. Jarang update, cuma baca-baca aja dan itu cuma sekilas. Udah bosen sih. Dan aku setuju banget sama no. 5.
ReplyDeletewogh. aku FOMO berarti kayaknya.
ReplyDeleteHatapi kalo ga gitu, aku ga makan :lol:
wkwkw...banyak istilah yang aku baru tahu kayak FOMO.
ReplyDeleteNice infonya...
Kalo aku suka semua poin yang diulas oleh Mak Lusi deh. Emang postingan2 Mak Lusi ini keren dan mengena deh. Setuju, Mak. Thanks for share yaaa. Socmed hanyalah sebuah wadah, yang bisa kita jadikan sahabat tapi juga musuh. Tinggal kitanya aja bagaimana menyiasati dan mengendalikannya ya, Mak, agar tetap menjadi sahabat yang menguntungkan kita. :)
ReplyDeletePerempuan memang sering kali di cap cerewet ya tapi gak sepenuhnya benar dong ya mbak :) buktinya yang lebih suka berkicau itu suamiku dibanding aku di twitter hehehe
ReplyDeletehihihi emng bener manusia memiliki dua kepribadian, tapi eh tapiiiii ada bnyk akun alter atau anonim, ya drpd nyepam di akun yang asli, lebih baik bikin akun lagi :D
ReplyDeletetapi aku gak suka ribet harus bikin akun lagi, lah udah bikin akun onlineshop :D
duh, poin no 5 jd mengingatkan sy kl pernah di unfriend seorang teman di FB krn sy dianggap udah nyindir dia.
ReplyDeletePdhl sy wkt itu jelas2 bikin status kl sy jengah liat berita putusnya Raffi dan Yuni. Resiko kl punya masalah ketauan sm umum bakal heboh terus.
Eh yg unfriend sy ini merasa sy itu nyindir dia hy karena sehari sebelumnya dia berantem hebat sm suaminya di FB. Haahahaha aneeeehhhh. Sy, sih, bodo' amat dia unfriend kl alasannya krn itu. Dianya aja yg sensi :D
ulasannya 'mak jleb' banget! pas di hati
ReplyDeleteterimakasih infonya mba. menarik sekali mba.. :)
ReplyDeletesetuju sama tulisannya...
ReplyDeleteuntung saya masih belum punya aku yang harus dipertanggungjawabkan, hanya akun pribadi, jadi kalo ada yang suka nyampah di sosmed, diremove aja..hehe
Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji