Jika ditilik (halah, pakai bahasa biasa saja ya). Jika dilihat kembali, dua tahun belakangan teman saya bertambah signifikan. Uniknya, 90% teman saya itu penulis. Kok bisa ya? Itu terjadi dengan tanpa sadar. Karena keinginan belajar (meskipun agak telat karena sudah tua), maka saya mendekat ke kelompok-kelompok penulis. Mulanya saya bergerombol dengan para pemula (ya iyalah, masa langsung gabung dengan Dewi Dee hihihiii...). Setelah setahun nempel dengan mereka, saya putuskan untuk menyapih diri. Bukan karena saya lebih pandai, tapi aneh saja bergabung dengan anak-anak muda. Apalagi kalau pas dapat tema cinta remaja. Sudah tidak bisa menghayati. Mengkhayal pun nggak nyampai. Ketika riset juga nggak bisa masuk ke dunia itu.
Alhamdulillah saya mendapatkan teman-teman yang hebat dalam dunia tulis-menulis. Buku yang mereka hasilkan sudah puluhan, baik antologi, duo maupun atas nama sendiri. Genre yang dikuasai juga lebih beragam, dari cerita anak-anak, dewasa, motivasi, inspirasi dan sebagainya.
Ternyata, menyapih diri dari kelompok penulis pemula membawa dua dampak sekaligus. Karena lebih asyik ngeblog tentang keseharian, saya jadi kehilangan imajinasi dan banyak perbendaharaan kata. Namun karena ngeblog pula, saya mendapatkan banyak informasi tentang apa yang dibutuhkan teman-teman ketika membaca blog saya. Pertanyaan-pertanyaan di blog saya tersebut membentuk benang merah sebuat outline buku dalam waktu singkat. Mudah? Tunggu dulu....
Masalah utama seorang penulis adalah menyelesaikan suatu ide. Sayangnya, disitulah kekurangan saya. Karena berdasarkan pengalaman, mudah bagi saya membuat outline untuk kemudian dijadikan proposal. Proposal tersebut selalu mendapatkan sambutan yang cepat dan baik dari penerbit. Tapi kemudian saya selalu gagal menyelesaikannya.
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan ketika menyusun buku nonfiksi bagi pemula. Bagi pemula lo yaaa.... Saya kan juga pemula. Yang sudah master dibagi saja tipsnya di kolom komentar ya, untuk amal, thank you.
1. Tema nonfiksi sering sudah ada sepotong-sepotong di media cetak maupun elektronik. Cermatlah memilih tema, yang meskipun sudah umum tapi belum ada yang membahas secara detil.
2. Buatlah tema utama yang paling dikuasai. Lebih baik berdasarkan pengalaman agar suasana non fiksi yang kadang garing bisa lebih berwarna.
3. Ketika membuat proporsal, yakinkan diri dulu akan sanggup menyelesaikannya. Jika tidak yakin, jangan dimasukkan, karena akan membuat kita mati kutu sendiri. Riset buku non fiksi sering termasuk terjun ke lapangan, bukan hanya literatur.
4. Tahap awal dalam penyusunan buku non fiksi (kita ngobrol soal ini di lain waktu), sebenarnya cukup menyerahkan proporsal ke penerbit. Jika penerbit oke, baru kita selesaikan. Tapi karena poin no 3 diatas, saya kapok. Baik saya maupun bapak saya, selalu menyelesaikan draft buku sampai akhir, baru menghubungi penerbit. Resikonya memang bisa saja dibongkar atau ditambah beberapa bab. Tapi itu lebih baik karena bisa memberi gambaran pada diri sendiri, bagaimana nantinya buku itu akan diselesaikan.
5. Terbukalah dengan saran-saran dari editor karena mereka berpengalaman melihat celah-celah yang dibutuhkan pembaca. Editor nonfiksi tidak terlalu cerewet soal bahasa (kecuali jika bukunya seperti Kamus Lengkap Jawa-Indonesia milik bapak saya), tapi mereka selalu menekankan agar isi buku taktis, tidak banyak "bunga-bunga", memberi highlight pada bagian-bagian tertentu dan sarat informasi.
6. Di buku nonfiksi tertentu, misalnya tutorial kerajinan atau resep seperti yang dibuat teman-teman saya, foto menjadi bagian terpenting. Tapi untuk buku Berani Ikut Pameran, foto digunakan sebagai ilustrasi saja karena yang menjadi inti buku tersebut adalah guidance-nya.
Nah, bagaimana teman-teman? Ayo buat pengalaman atau pengetahuanmu menjadi outline buku non fiksi. Kecuali buku yang dihasilkan dari penelitian akademik, garis besar dari penyusunan buku nonfiksi adalah menyatukan serpihan-serpihan pengalaman atau pengetahuan kita sendiri.
4 Comments
Setujuuuu bagian yang selesaikan saja dulu sebelum mengirim outline hehehe. Btw, menurut saya Mak, menulis non fiksi jauh lebih mudah daripada fiksi :D. Setidaknya enggak perlu mikirin plot segala macam. Tapi ya, kalau ditilik-tilik lagi (nyontek bahasanya Mak Lusi), sama aja ya susahnyaaaaa... hahaha.
ReplyDeletesaya seringnya menulis laporan, non-paper, dan pidato maaak....banyaaaaak ajaaah hiks...itu pekerjaan non fiksi (masuk kategorinya ngg yaaa....:D) yang seringkali melelaahkaan ...paling seneng cerita pengalaman memang kalau lagi ngeblog...but then again, kalau dipaksa, pasti bisa yaaaa :D....
ReplyDeleteMaak... owalaahh masalahku banget itu nggak bisa nyelesain satu ide :(
ReplyDeleteaku belum pernah nulis buku mbak. btw gimana sudah launcging mbak?
ReplyDeleteDear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji