Idul Adha 2013 ini si sulung mendapat tugas dari sekolahnya untuk membuat reportase di kampung masing-masing, lengkap dengan foto dan tentu saja informasi penting tentang pelaksanaan qurban tersebut. Jadi setelah memberinya sedikit bekal informasi apa yang harus dikumpulkannya, berangkatlah sisulung membawa kamera Lumix, notes, pena dan Blackberry. Cukup lama si sulung berada disana, sekitar tiga jam. Selama itu, saya beri sedikit clue beberapa momen yang mungkin terlewat via BB. Setelah pulang dengan perut kenyang karena makan bersama panitia dan membawa satu kresek besar daging bagian kami, saatnya mengecek informasi apa saja yang didapatnya.
Ternyata di kameranya tidak banyak yang ditangkap. Wkwkwkkk.... Maklumlah ABG ketemu teman-temannya, jadi disana banyak hangout-nya. Yang seharusnya ada tapi tidak ada adalah foto penyerahan daging ke para mustahiq. Tapi ini layak dihargai dan sekarang si sulung merasakan asiknya melakukan reportase. Syukur mau kerjasama untuk mengisi blog ini ya, heheee....
Berhubung ceritanya pun tidak banyak, jadi biarkanlah saya saja yang bercerita. Tiap daerah memiliki keunikan sendiri dalam qurban, tapi yang di Pekanbaru ini termasuk istimewa. Mayoritas qurban di Pekanbaru adalah sapi, bukan kambing. Jumlahnya pun cukup fantastis. Untuk mesjid At-Taubah yang tidak besar dan berada di kampung dengan macam-macam tingkat ekonomi masyarakat, yang didominasi tingkat kemapanan biasa-biasa saja ini menyembelih 13 ekor sapi dan 2 ekor kambing. Mesjid tetangganya juga diatas 10 ekor sapi. Sementara mesjid agung An Nur berhasil mengumpulkan 60 ekor sapi. Selama berpindah-pindah kota, belum pernah mendapati qurban yang sedemikian banyak dan itu stabil tiap tahun, tidak terpengaruh kondisi ekonomi bangsa.
Meski qurban selalu berlimpah, tapi panitia tidak pernah merasa kewalahan karena sudah terbiasa. Penyembelihan berlangsung cepat, bahkan paling cepat jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Panitia dibagi menjadi beberapa regu tergantung jumlah sapi. Tiap regu dipimpin seorang ketua. Tugas masing-masing regu adalah membacakan doa, menyembelih, menguliti, memotong-motong dan membungkus. Jadi tidak dikumpulkan dengan hasil potongan sapi lain. Karena sudah ada regu-regu seperti itu, bisa dilakukan penyembelihan tiga sapi sekaligus secara bersamaan. Karena itu, begitu adzan dhuhur, panitia yang laki-laki sudah bisa bersih-bersih.
Qurban identik dengan makan-makan? Sebenarnya penekanannya bukan di makan-makan itu, melainkan karena panitia mengeluarkan banyak tenaga yang tentu saja membuat mereka lelah dan lapar, maka acara masak memasak selalu ada. Bagian ini pastilah jadi tempat ngumpulnya ibu-ibu. Jika rumah-rumah di kota mayoritas bertipe kecil sehingga tidak punya perabotan besar, maka dikampung seperti ini wajan raksasa pasti ada saja yang punya.
Ibu-ibu punya kebiasaan memasak rendang, gulai atau ayam bumbu sekali masak untuk beberapa hari dirumah. Memasaknya kadang diluar menggunakan kayu karena halaman masih luas. Kalau di kota lain sibuk nguleg atau memblender bumbu, disini bumbu halus lengkap bisa dibeli di pasar, begitu pula santan yang sudah diperas. Jangan khawatir, bumbu yang bagus dan tidak layak bisa dibedakan kok. Apalagi ketika dimasak, aromanya akan kentara antara yang segar dan tidak. Jadi lebih baik beli di langganan. Santan kental yang sudah diperas juga mudah didapat karena masakan masyarakat sini memang kebanyakan bersantan. Jadi... cemplung-cemplung, selesai. Setelah sholat dhuhur semua bisa makan siang rame-rame, tidak hanya panitia saja, siapapun yang ada di sekitaran situ boleh ambil piring dan makan.
Pengalaman qurban di beberapa kota membuka mata saya bahwa tingkat kesejahteraan tidak berbanding lurus dengan jumlah hewan qurban. Semua tergantung seberapa besar cinta kita. Jika kita mencintai sesuatu atau seseorang, kita akan berusaha keras dan menyediakan waktu bagi yang kita cintai itu. Di lingkungan yang sederhana, cinta kita juga sederhana, hanya pada yang membuat kita ada. Di lingkungan yang lebih kompleks, cinta kita terdistraksi oleh hal-hal menyenangkan lainnya, walaupun itu meniadakan diri kita sendiri.
Disini masyarakat memprioritaskan qurban, sehingga bulan depan mereka sudah mulai menabung lagi di ibu-ibu mesjid untuk qurban tahun depan. Qurban tidak menunjukkan strata sosial karena siapapun bisa berqurban: SPG, tukang ojek, bakul sayur, nenek-nenek yang mendapat jatah bulanan dari cucunya, petugas cleaning service, sopir angkot dan sebagainya. Ibu-ibu mesjid tersebut akan berkeliling ke rumah-rumah dan kos-kosan, menarik iuran kematian sekaligus tabungan qurban. Jika penghuni bekerja hingga malam, mereka akan mendatangi salah satu petugas untuk menyetorkan tabungan qurban. Niat yang kuat, yang menghasilkan kedisiplinan, sangat penting supaya bisa ber-qurban tahun berikutnya, karena mereka sadar bahwa uang sering tidak terkumpul justru ketika Idul Adha tiba.
Inginnya, semangat memberi itu menyebar, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang malah saling sikut dan injak menuntut daging yang mereka anggap sebagai jatah. Jika semangat itu menyebar, maka tiap rumah bisa mendapat lebih dari satu kupon dari mesjid yang berlainan disekitarnya, panti asuhan bisa membuat rendang yang banyak untuk seluruh penghuni untuk beberapa hari dan kehidupan bertetangga menjadi lebih baik karena semua mendapat kupon tanpa terkecuali.
Qurban menunjukkan ketakwaan kita bahwa kita tak takut mati kelaparan hanya karena menyumbangkan seekor kambing. Banyak manusia yang sanggup bertahan ketika semua miliknya diambil, misalnya karena kebakaran atau tsunami. Kekhawatiran kita akan merendahkan kemampuan kita sendiri dan kuasa Allah SWT. Apalagi jika sampai sanggup menyikut nenek-nenek di antrian demi 1 kg daging.
1 Comments
dari kemarin aku komen disini gak bisa terus mbak, dibilang salah capcta . ii coba lagi dhe
ReplyDeleteDear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji