Bagi yang sering berpindah tempat tinggal seperti saya atau suka traveling, pasti mengerti benar rasanya berada dilingkungan asing. Ada rasa deg-degan, sedikit takut, tapi juga penuh rasa ingin tahu. Bagi yang akan tinggal menetap dilingkungan baru tersebut, mungkin ditambah dengan perasaan takut tidak bisa diterima oleh lingkungan tersebut.
Menginjakkan kaki di bumi Melayu Riau nan gemilang, memberikan getaran tersendiri. Bagaimana tidak? Melayu dikenal sebagai negerinya para saudagar tangguh. Pada jaman dulu, armada laut kerajaan-kerajaaan Melayu yang pemberani, mengamankan jalur-jalur perdagangan dunia di selat Malaka hingga ke pedalaman Kalimantan. Kalau teman-teman berkesempatan datang ke istana Kesultanan Siak Sri Inderapura, akan timbul pertanyaan, bagaimana mungkin kerajaan yang berada dipedalaman Riau bisa membangun armada laut yang kuat nun jauh di Bintan pada tahun 1724-1726?
Pada masa Kesultanan Melayu Melaka, Riau merupakan pusat agama Islam dan kesan itu tidak hilang hingga sekarang meski berkurang karena berasimilasi dengan berbagai kebudayaan modern. Salah satu cerminan agama Islam yang mendominasi kehidupan masyarakat Melayu Riau adalah baju Melayu. Kaum laki-laki umumnya mengenakan celana dan kemeja panjang menyerupai baju koko, ditambah lilitan teluk belanga (semacam sarung) dan peci. Sedangkan yang perempuan mengenakan baju longgar yang menyerupai busana muslim saat ini. Jika di lain daerah masih ditemui anak-anak sekolah SMP yang mengenakan celana pendek untuk laki-laki dan rok pendek untuk perempuan, maka semua anak di Riau sudah mengenakan celana panjang dan rok panjang sejak usia sekolah. Pada umumnya anak-anak juga sekolah dua kali, yaitu sekolah umum dari pagi hingga siang dan MDA (Madrasah Diniyah Alawiyah) di sore hari.
Rupanya kekhawatiran dalam menyesuaikan diri dengan masyarakat Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa dan budaya bangsa Indonesia tidak beralasan. Masyarakat Melayu Riau adalah masyarakat yang ramah dan sangat terbuka. Bagi masyarakat Melayu, siapapun yang menghormati dan berlaku sebagaimana yang digariskan oleh budaya Melayu, sudah menjadi bagian dari masyarakat Melayu. Bahkan sebenarnya, asal kita mau mengamalkan pepatah Melayu "Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung", insya Allah kita bisa diterima dimana saja.
Saat ini, ketika saya kembali memasuki lingkungan baru alias pindah lagi, pepatah tersebut berusaha saya terapkan lagi. Pada saat memasuki lingkungan baru, yang pertama kita lakukan adalah mengetuk pintu, permisi. Karena kita berada di lingkungan blogger, penting sekali untuk menyapa komunitas setempat dan memperkenalkan diri. Bagaimanapun juga kedepannya kita pasti akan berinteraksi di lingkungan yang sama meski mewakili komunitas lain atau sebagai individu. Terhadap lingkungan tempat tinggal, tentusaja kita harus memperkenalkan diri pada tetangga dan pak atau bu RT. Selanjutnya, sedikit demi sedikit kita beradaptasi dengan budaya atau kebiasaan yang baru ini.
Beradaptasi dengan lingkungan baru tidak berarti menghilangkan jatidiri, melainkan sebagai jalan untuk masuk dan berkembang didalam lingkungan tersebut. Setelah memiliki rasa yang nyaman untuk berkarya, paculah diri untuk berprestasi sebaik mungkin untuk memberi kontribusi pada lingkungan yang telah memberi kita ruang untuk tumbuh sebagai tanda terima kasih. Meski kita bukan atlit dengan segudang medali emas, kita bisa berkontribusi sesuai dengan kemampuan kita sebagai seorang blogger.
Ketika Riau dilanda kabut asap dan saya masih disana, saya tidak menganggapnya sebagai masalah klasik orang Riau tapi langsung menyatakannya sebagai masalah saya juga. Diprakarsai teman-teman blogger dan sosial media dari Riau, saya bergabung menyerukan #MelawanAsap dan memposting beberapa tulisan tentang masalah lingkungan di Riau berdasarkan pengalaman pribadi. Meski sifatnya tidak terlalu ilmiah tapi pengalaman pribadi bisa menarik banyak perhatian.
Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung. Dimana kita mendapatkan nafkah dan tempat berlindung, disitulah kita bela kejayaannya.
10 Comments
membaca tulisan mak ini mengingatkan saya akan Riau. saya pernah ke Pekanbaru Riau tahun 2005. cantik kotanya. :)
ReplyDeleteMembaur tidak harus melebur ya Mak
ReplyDeletekalau sudah kenal dan tahu kondisi lingkungan pasti makin penasaran hehehe...sempat kaget juga sama orang2 sini,setipa ketemu pasti ramah,senyumnya mengembang..senyum sama siapa ya???ternyyata,jd maua nggak mau kl jalan dan ketemu orang pasti mengumbar senyum hehehe...*ketauan jutek* >_<
ReplyDeleteSepakat Mak Lusi. Saya juga merantau di tanah Melayu selama 9 tahun. Sekarang meskipun di tanah Jawa juga tetap merantau wong bukan di kampung halaman. pepatah itulah yang membuat kita nyaman hidup ditanah rantau.
ReplyDeleteKarena teks tidak bisa di-copy, bisakah kirimkan email agar memudahkan penghitungan jumlah kata? Terima kasih.
ReplyDeleteOh iya saya ingat waktu itu Mbak Lusi begitu hebohnya menyebarkan hestek #MelawanAsap
ReplyDeleteSetuju dengan pepatah itu.. jika ingin dihormati kita harus bisa menghromati orang lain walaupun hanya sebagai orang rantau. Bagaimanapun bumi yang dipijak adalah buminya bersama. ya toh? iyoooo :D
[…] Lusiana, Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung […]
ReplyDeletetiap2 wilayah / daerah punya aturan sendiri ya mbak, yang harus kita patuhi...
ReplyDeleteHiks... pernah ngalamin ga enaknya dikelilingi asap :(
ReplyDeleteMoga sukses buat ngontesnya, Mak Lusi ^_^
[…] teman-teman Riau mengkritisi penanganan kabut asap. Saya tidak mendua, tapi itu wujud prinsip saya, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Hubungannya dengan Jogja apa? Saya heran ketika tiba di Jogja dan melihat orang memakai masker […]
ReplyDeleteDear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji