Sesekali, cobalah anak-anak ditempa dengan antri bersama ibu-ibu lain.
Sewaktu kecil dulu, ibu saya seringkali tidak menyiapkan sarapan karena sibuk mengurusi adik bayi. Salah satu jalan keluarnya adalah membeli sarapan di dekat rumah. Sarapan yang umum dikonsumsi warga sekitar kami adalah nasi pecel. Begitu buka, langsung deh berkerumun para tetangga membeli sarapan. Budaya antri memang kurang ditanamankan di daerah kami sehingga yang berkerumun bersahut-sahutan mengingatkan penjual apa yang mereka pesan. Akhirnya penjual melayani yang nyantel diingat aja, yang penting antrian segera berkurang. Apa kabar si L kecil? Yup, cuma berdiri diem menunggu ditanya penjualnya. Walhasil sampai antrian sepi dan penjual melihat keberadaan sayalah akhirnya si nasi pecel berhasil dibawa pulang. Sampai dirumah, bukannya ibu bangga malah marah karena sekolah saya terlambat. Saya sedih bukan main, karena nggak mudeng apa salah saya. Bukankah saya sudah antri seperti yang diajarkan? Bukankah nasi pecelnya sesuai dengan yang dipesankan?
Anak saya (baju putih) sudah 2x disalip ibu-ibu dan diam saja. Saya biarkan dia mengatasinya sendiri, meski harus lebih lama kehausan. |
Kadang hidup tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kadang hidup tak selamanya lurus. Meski kita sudah melakukan apa yang diajarkan, tapi tak selamanya hasilnya seperti yang seharusnya. Sudahkah kita mengajarkan itu pada anak-anak?
Seringkali kita mengatakan, "Sini mamah saja yang antri, kalau kamu nanti kelamaan."
Kita hanya mengajarkan anak-anak cara antri seperti di pelajaran sekolah. Kita mengajaknya antri di tempat-tempat yang "aman" seperti supermarket. Kita tidak mengijinkan mereka merasakan kerasnya kehidupan dari porsi terkecil, misalnya antri bersama ibu-ibu lain.
Kebenaran itu seringkali merupakan jalan sunyi. Kita mengajarkan anak-anak cara yang benar menurut etika sosial, agama dan hukum. Tapi kenyataan yang mereka lihat seringkali tak sesuai dengan apa yang kita ajarkan. Kita berusaha keras untuk melindungi mereka dari terluka, baik fisik maupun batin. Namun kita lupa bahwa membiarkan mereka menghadapi kekecewaan seringkali berguna untuk mempersiapkan mereka agar kelak tidak terpengaruh dengan kesalahan umum. Sebagai contoh kisah sewaktu saya kecil tadi. Bayangkan jika itu terjadi dengan anak-anak kita, cuma bengong melihat antriannya diserobot ibu-ibu. Tubuh kecil saya (waktu itu masih kerempeng) tentusaja tidak terlihat oleh si penjual pecel, tertutup sedemikan banyak ibu-ibu berbody subur. Sunyi sendiri tapi tak berani melanggar ajaran ibu saya untuk patuh dengan antrian. Ketika dewasa, mereka akan berjuta-juta kali mengalami jalan sunyi dalam mempertahankan kebenaran di banyak bidang kehidupan.
Benar dan sabar itu berkolerasi. Benar itu seringkali harus dibarengi dengan sikap sabar. Menjadi benar seringkali justru menjadi penghalang untuk mendapatkan keinginan dengan cepat. Karena itu banyak yang meninggalkan kebenaran karena tidak sabar. Misalnya ibu-ibu yang mengantri pecel tadi, kalau mereka sabar berarti mereka harus antri, padahal mereka ingin segera cepat pulang karena sudah ditunggu cucian piring. Begitupun bagi anak kecil kalau tidak belajar sabar, mungkin sudah lari pulang sambil nangis sebelum mendapatkan apa yang ditugaskan.
Menghormati orang yang lebih tua. Awal mula menggunakan media sosial, saya sempat terkaget-kaget melihat bagaimana anak muda dengan santainya mencaci kyai. Kalau mencaci politikus sudah sering saya lihat, tapi kyai? Kyai, apalagi cuma orangtua, itu memang bisa saja salah. Tapi kita bukanlah makhluk tak beradab yang bisa seenaknya mencaci maki orangtua. Sejak lahir orangtua kita telah mengajarkan tata krama dan sopan santun. Kita bukan makhluk barbar atau orang hutan, kan? Mengantri bareng ibu-ibu itu adalah ujian kesabaran yang luar biasa. Anak-anak bisa belajar untuk tetap santun meski haknya telah dilanggar. Dari situ mereka bisa belajar untuk menegur dengan bahasa yang sopan.
Tidak menindas yang lemah. Pengalaman tidak enaknya dipepet oleh orang-orang yang lebih perkasa diharapkan membuat anak-anak tidak akan pernah menindas yang lebih lemah. Ketika mereka merasa diatas angin, semoga mereka ingat bagaimana rasanya tak mampu melawan meski melihat ketidakbenaran.
Baca juga: Perjanjian Orangtua dan Remaja
Menyuarakan kebenaran itu butuh keberanian. Dimarahi ibu dan terlambat sekolah adalah akibat jika tidak berani menyuarakan kebenaran. Benar itu tidak selamanya statis atau tidak melawan. Seringkali benar harus diperjuangkan, tidak boleh diam saja. Antri bersama ibu-ibu adalah ujian keberanian yang luar biasa. Gila aja berani negur ibu-ibu, bisa-bisa malah dipelototi dan diomeli. Tapi kalau setiap hari seperti itu, mamah harus mengajarinya cara menyampaikan maksud yang benar, tidak melulu harus menegur, "Antri, dong!"
Misalnya, "Maaf bu, saya harus ke sekolah, bolehkah saya maju dulu sesuai dengan urutan saya."
Dan meski kita sudah ajari bagaimana cara menyampaikannya termasuk redaksinya, tetap saja keberanian itu harus ada.
Kadang saya berpikir, selama masih ada saya, buat apa anak-anak harus menghadapi ketidakadilan, keserakahan atau tindakan semena-mena. Selama masih ada saya, saya akan melindungi mereka sedapat mungkin. Sayangnya, saya tidak bisa memastikan berapa lama "selama masih ada saya" tersebut, karena Allah jualah yang berkuasa. Bukankah lebih baik mempersiapkannya?
Kebenaran itu seringkali merupakan jalan sunyi. Kita mengajarkan anak-anak cara yang benar menurut etika sosial, agama dan hukum. Tapi kenyataan yang mereka lihat seringkali tak sesuai dengan apa yang kita ajarkan. Kita berusaha keras untuk melindungi mereka dari terluka, baik fisik maupun batin. Namun kita lupa bahwa membiarkan mereka menghadapi kekecewaan seringkali berguna untuk mempersiapkan mereka agar kelak tidak terpengaruh dengan kesalahan umum. Sebagai contoh kisah sewaktu saya kecil tadi. Bayangkan jika itu terjadi dengan anak-anak kita, cuma bengong melihat antriannya diserobot ibu-ibu. Tubuh kecil saya (waktu itu masih kerempeng) tentusaja tidak terlihat oleh si penjual pecel, tertutup sedemikan banyak ibu-ibu berbody subur. Sunyi sendiri tapi tak berani melanggar ajaran ibu saya untuk patuh dengan antrian. Ketika dewasa, mereka akan berjuta-juta kali mengalami jalan sunyi dalam mempertahankan kebenaran di banyak bidang kehidupan.
Benar dan sabar itu berkolerasi. Benar itu seringkali harus dibarengi dengan sikap sabar. Menjadi benar seringkali justru menjadi penghalang untuk mendapatkan keinginan dengan cepat. Karena itu banyak yang meninggalkan kebenaran karena tidak sabar. Misalnya ibu-ibu yang mengantri pecel tadi, kalau mereka sabar berarti mereka harus antri, padahal mereka ingin segera cepat pulang karena sudah ditunggu cucian piring. Begitupun bagi anak kecil kalau tidak belajar sabar, mungkin sudah lari pulang sambil nangis sebelum mendapatkan apa yang ditugaskan.
Menghormati orang yang lebih tua. Awal mula menggunakan media sosial, saya sempat terkaget-kaget melihat bagaimana anak muda dengan santainya mencaci kyai. Kalau mencaci politikus sudah sering saya lihat, tapi kyai? Kyai, apalagi cuma orangtua, itu memang bisa saja salah. Tapi kita bukanlah makhluk tak beradab yang bisa seenaknya mencaci maki orangtua. Sejak lahir orangtua kita telah mengajarkan tata krama dan sopan santun. Kita bukan makhluk barbar atau orang hutan, kan? Mengantri bareng ibu-ibu itu adalah ujian kesabaran yang luar biasa. Anak-anak bisa belajar untuk tetap santun meski haknya telah dilanggar. Dari situ mereka bisa belajar untuk menegur dengan bahasa yang sopan.
Tidak menindas yang lemah. Pengalaman tidak enaknya dipepet oleh orang-orang yang lebih perkasa diharapkan membuat anak-anak tidak akan pernah menindas yang lebih lemah. Ketika mereka merasa diatas angin, semoga mereka ingat bagaimana rasanya tak mampu melawan meski melihat ketidakbenaran.
Baca juga: Perjanjian Orangtua dan Remaja
Menyuarakan kebenaran itu butuh keberanian. Dimarahi ibu dan terlambat sekolah adalah akibat jika tidak berani menyuarakan kebenaran. Benar itu tidak selamanya statis atau tidak melawan. Seringkali benar harus diperjuangkan, tidak boleh diam saja. Antri bersama ibu-ibu adalah ujian keberanian yang luar biasa. Gila aja berani negur ibu-ibu, bisa-bisa malah dipelototi dan diomeli. Tapi kalau setiap hari seperti itu, mamah harus mengajarinya cara menyampaikan maksud yang benar, tidak melulu harus menegur, "Antri, dong!"
Misalnya, "Maaf bu, saya harus ke sekolah, bolehkah saya maju dulu sesuai dengan urutan saya."
Dan meski kita sudah ajari bagaimana cara menyampaikannya termasuk redaksinya, tetap saja keberanian itu harus ada.
Kadang saya berpikir, selama masih ada saya, buat apa anak-anak harus menghadapi ketidakadilan, keserakahan atau tindakan semena-mena. Selama masih ada saya, saya akan melindungi mereka sedapat mungkin. Sayangnya, saya tidak bisa memastikan berapa lama "selama masih ada saya" tersebut, karena Allah jualah yang berkuasa. Bukankah lebih baik mempersiapkannya?
25 Comments
kalo kata Ibu,"Pengen sih ngebiarin adek bla...bla... bla... tapi nggak tega." kemudian mendengus dan bilang,"tapi kan nggak mendidik ya, Mbak?" Heuheu
ReplyDeleteHeuheuheu tega nggak tega
DeleteArtikel yang keren. Kebenaran memang seringkali merupakan jalan sunyi. Menyuarakannya juga butuh keberanian. Artikel ini membuat saya merenung...
ReplyDeleteMakasih mbak, saling mengingatkan :)
Deleteoh yeah. ibu-ibu. siapa berani melawan? saya pun dulu juga diam aja kalau diserobot. cuma mbatin, mbatin dan mbatin. akhirnya yang dibatin itu terukir sebagai ikrar dalam hati bahwa saya tidak akan begitu kelak jika dewasa. life really teaches us something.
ReplyDeleteAnak2 cuma bungkem ya :(
Deleteibu ibu selalu benar.. tapi aku gengges banget liat kelakuan ibu ibu kayak gini deh, ibu ibu alay. kayaknya ibu ibu modern gak seperti ini deh.. mereka sudah lebih open minded dan terpelajar kok.. dan untuk sang anak, memang dibutuhkan keberanian untuk mengungkapkan apa yang dia suka dan tidak suka
ReplyDeleteAntri jadi ajang latihan berani :)
DeleteBismillah.. semoga nanti kalo punya anak. Bisa ngajarin anak untuk tegas tapi tetap sopan.
ReplyDeleteSaya juga pernah ngalamin ini mbak, pas antri bubur. Padahal sy berdiri tepat di samping yang jual bubur. Masa iya,ga keliatan. Akhirnya ada ibu2 yg bilang ke penjual buburnya, "adek ini dah dari tadi,Bu." Baru dijualin. Seolah2 dr pedagang sendiri mmg mengutamakan yg "tua2" dl.
Akhirnya saya ga pernah beli bubur ksana lagi. Males dicuekin. Gagal belajar dr kekecewaan nih saya. Haha
Nangis nggak?
DeletePersis kayak pengalaman saya waktu kecil mbak, kalau disuruh ibu belanja ke warung mungkin karena saya anak kecil jadi dicuekin ama penjual dan saya baru dilayanin setelah pembeli lain habis :(
ReplyDeletenangis juga nggak ini?
Deletesaya juga masih ngajarin ngantrinya yg aman2 aja :)
ReplyDeleteNggak tega ya?
DeleteKadang ada penjual yang "nyebelin" Mbak. Kalo kita gak ngomong ya gak ditanya , entah itu anak kecil atau orang dewasa. Jadinya pembeli yg agresif yg dapet duluan :D
ReplyDeleteNah itu, mbok ya dia yg ngatur antrian ya
Deletedduuhh bener banget tuh mbak, kadang ada ibu-ibu yang nyebelin, udah datengnya belekangan, tapi sukanya nyrobot aja. Semoga semakin banyak yang sadar akan pentingnya budaya antri, mari beri contoh yang baik untuk para generasi kita :)
ReplyDeleteIya banget hiks, mentang2 powerful
Deletemba lusi kereeen, iya kadang ajarin anak antri, eh emak2 nyerobot, bingung dan kaget deh anak...
ReplyDeleteBanyak bgt pelajaran dari mba, anakku masih kecil. Dunia yg begitu kerasnya,smoga anak2 kita slalu dilindungi Allah. Amin.
ReplyDeleteSampe skrg aku klo antri lalu diserobot, cuma diem aj hehe..uda hamil gendut bgini, di gramed di serobot bpk2 :)) elus dada aj,kjadian 3 minggu lalu. #curhat hihi
Sejak balita aku sering ikut ibu tahlilan dsb..intinya gaulku ya sama ibu ibu. Jadi sekarang sering maklum..hehe.udah aja kalau di alfmrt disodok antrian mah..mungkin dia ditungguin anaknya
ReplyDeleteaku jutek mbak soal antri. Kalau ada anak yang diduluin sama ibu2 lain , aku komlain ke penjuanya. Tapi jadi dijutekin sama yg gak suka :)
ReplyDeleteaku jutek mbak soal antri. Kalau ada anak yang diduluin sama ibu2 lain , aku komlain ke penjuanya. Tapi jadi dijutekin sama yg gak suka :)
ReplyDeleteDuh nggak cuma anak-anak, aku yang sudah tuwir gini paling males kalo beli makanan yang model antriannya nggak jelas. Emak pendiam seperti aku gini suka diserobot Ibu-Ibu agresif hahaha. Mending cari tempat lain aja kalo liat antrian sudah banyak. Contohnya nih, beli nasi jagung, ampun deh antrinya, berjubel, nggak ada nomor antrian. Yang jualan datang sekitar jam 18.15, nah aku biasanya datang setengah jam lebih awal, rela nunggu setengah jam daripada antri berjubelan. Makanya aku seneng banget kalo antri dikasih nomor, itu baru nyaman. *yeah malah curcol :D
ReplyDeletesaya masih ingat pas masih SMP malah jadi "alat" buat nyusup ke antrean karena saking kecilnya ini badan, hehe. tapi makin kesini makin sering adu mulut dengan (kebanyakan) ibu2 yg nyerobot antrean :)
ReplyDeleteDear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji