Hidup itu katanya tak adil. Kita ingin punya fasilitas yang memadai untuk usaha kita tapi belum kesampaian. Sementara orang lain yang sudah punya fasilitas tersebut malah seperti kurang fight dalam mengembangkan usahanya. Kita ingin punya pelanggan yang membludak tapi hasil yang dicapai belum seperti yang diidamkan. Sementara yang tiap hari diantri orang banyak, eh malah melayani pembeli dengan sesukanya. Apakah benar hidup itu tak adil?
Mencukupkan rejeki hari itu.
Ceritanya ada sebuah warung sate klathak yang sangat enak. Warung ini ada disebuah pinggir jalan sekitar Pleret. Kami menyebutnya warung sawah karena letaknya dekat sawah. Selain sate, dia menjual gulai dan tongseng. Semua masakannya lezat. Yang mengejutkan, kepala kambingnya selalu habis duluan. Entah bagaimana rasanya. Pasti enaklah karena habis duluan. Jam bukanya entah. Yang jelas jam 08.00 belum buka, jam 12.00 sudah habis. Penuh perjuangan sekali untuk mendapatkan masakan di warung ini karena waktu itu saya masih bekerja dan baru bisa keluar jam istirahat makan siang. Sampai suatu hari kami tersenyum penuh kemenangan ketika sampai di warung tersebut jam 11.00 dan masih ada daging menggantung.
"Nyuwun sewu mbak, sampun telas." (Maaf mbak, sudah habis.)
"Lha itu masih banyak kan satenya?"
"Tapi nasinya sudah habis."
"Masak nasi lagi aja, rice cooker setengah jam mateng, kok. Tak tunggu."(Pikir saya, setengah jam nunggu itu sepadan dengan perjuangan kami dan enaknya sate warung tersebut.)
"Maaf mbak, kalau nasinya sudah habis, kami tutup."
Doeng! Jadi tutup itu ternyata bukan karena habis semuanya, atau logikanya habis satenya. Tapi kok malah nasi yang dengan mudah bisa dibikin lagi?
Usut punya usut, ternyata pemilik warung tersebut punya kepercayaan untuk mencukupkan rejeki hari itu. Ukurannya apa, saya belum tahu. Yang jelas, jika mereka telah bersiap memperjuangkan rejeki sekian, maka mereka tidak akan kemaruk untuk mendapatkan lebih dari itu.
Rejeki dari tempat lain.
Ini kisah lain lagi tentang seorang teman yang sudah punya showroom seperti yang saya idamkan. Sayangnya, showroom ini malah tutup di weekend dan kadang tutup juga di hari lain. Kondisi ini membuat saya harus tanya-tanya dulu kalau mau kesana, takutnya tutup atau dia tidak ada. Agak aneh memang karena sebagai customer saya harus manut jadwalnya yang tidak pasti. Padahal salah satu unsur utama toko offline adalah jam buka yang teratur agar pelanggan tidak kecele. Tapi dengan sangat yakin, teman saya mengatakan, "Rejeki nggak harus dari toko ini kok, buktinya kamu kontak aku pesan barang."
Kebanggaan yang harus dibayar.
Saya baru kenal dengan teman ini. Dia punya ketrampilan yang menjual, yaitu menjahit baju. Buatannya bagus, peminatnya banyak. Kalau mau pesan harus menunggu sangat lama. Sampai suatu ketika, sahabat saya sambat karena bajunya tidak segera jadi dan akhirnya tidak bisa dipakai di hari yang telah direncanakan. Padahal menunggunya sudah 2 bulan. Saya pernah main ke teman saya yang penjahit itu. Kain yang belum dijahit masih numpuk banyak sekali. Kapan selesainya? Entahlah. Tapi teman tersebut tampak santai saja dan terus membanggakan jahitannya. Mungkin dia berpikir, "Siapa yang butuh?"
Jika pada awalnya saya mikir hidup itu tidak adil melihat cara orang lain yang bisa suka-suka menjalankan bisnis sementara saya ngos-ngosan, tapi setelah bergaul dengan lebih banyak lagi teman yang sukses, saya tetap percaya bahwa usaha keras dan doa tidak akan mengingkari.
Seandainya pemilik warung sawah mau berusaha lebih keras, mungkin sekarang dia sudah bisa seperti pak Bari yang tambah ngetop sejak film AADC2 atau punya restoran sebesar pak Pong. Begitu pula dengan pemilik showroom tersebut. Kalau dia rajin, apalagi kalau ditambah dengan akun online, bisa jadi usahanya yang sudah sekian tahun lamanya itu akan berkembang dan menjadi terkenal di media sosial. Dia juga bisa menyewa sendiri stan yang besar untuk pameran. Adapun penjahit tersebut, sudah tahu pelanggan banyak, mestinya rekrut orang untuk menyelesaikan tugas-tugas yang tidak terlalu vital. Kalau dia bisa menyelesaikan tumpukan bahan itu secepat mungkin, dia bisa berkembang dan ikut fashion show. Tuhan telah mencukupkan hasil sesuai dengan usaha dan keinginan umatnya.
"Nyuwun sewu mbak, sampun telas." (Maaf mbak, sudah habis.)
"Lha itu masih banyak kan satenya?"
"Tapi nasinya sudah habis."
"Masak nasi lagi aja, rice cooker setengah jam mateng, kok. Tak tunggu."(Pikir saya, setengah jam nunggu itu sepadan dengan perjuangan kami dan enaknya sate warung tersebut.)
"Maaf mbak, kalau nasinya sudah habis, kami tutup."
Doeng! Jadi tutup itu ternyata bukan karena habis semuanya, atau logikanya habis satenya. Tapi kok malah nasi yang dengan mudah bisa dibikin lagi?
Usut punya usut, ternyata pemilik warung tersebut punya kepercayaan untuk mencukupkan rejeki hari itu. Ukurannya apa, saya belum tahu. Yang jelas, jika mereka telah bersiap memperjuangkan rejeki sekian, maka mereka tidak akan kemaruk untuk mendapatkan lebih dari itu.
Rejeki dari tempat lain.
Ini kisah lain lagi tentang seorang teman yang sudah punya showroom seperti yang saya idamkan. Sayangnya, showroom ini malah tutup di weekend dan kadang tutup juga di hari lain. Kondisi ini membuat saya harus tanya-tanya dulu kalau mau kesana, takutnya tutup atau dia tidak ada. Agak aneh memang karena sebagai customer saya harus manut jadwalnya yang tidak pasti. Padahal salah satu unsur utama toko offline adalah jam buka yang teratur agar pelanggan tidak kecele. Tapi dengan sangat yakin, teman saya mengatakan, "Rejeki nggak harus dari toko ini kok, buktinya kamu kontak aku pesan barang."
Kebanggaan yang harus dibayar.
Saya baru kenal dengan teman ini. Dia punya ketrampilan yang menjual, yaitu menjahit baju. Buatannya bagus, peminatnya banyak. Kalau mau pesan harus menunggu sangat lama. Sampai suatu ketika, sahabat saya sambat karena bajunya tidak segera jadi dan akhirnya tidak bisa dipakai di hari yang telah direncanakan. Padahal menunggunya sudah 2 bulan. Saya pernah main ke teman saya yang penjahit itu. Kain yang belum dijahit masih numpuk banyak sekali. Kapan selesainya? Entahlah. Tapi teman tersebut tampak santai saja dan terus membanggakan jahitannya. Mungkin dia berpikir, "Siapa yang butuh?"
Jika pada awalnya saya mikir hidup itu tidak adil melihat cara orang lain yang bisa suka-suka menjalankan bisnis sementara saya ngos-ngosan, tapi setelah bergaul dengan lebih banyak lagi teman yang sukses, saya tetap percaya bahwa usaha keras dan doa tidak akan mengingkari.
Seandainya pemilik warung sawah mau berusaha lebih keras, mungkin sekarang dia sudah bisa seperti pak Bari yang tambah ngetop sejak film AADC2 atau punya restoran sebesar pak Pong. Begitu pula dengan pemilik showroom tersebut. Kalau dia rajin, apalagi kalau ditambah dengan akun online, bisa jadi usahanya yang sudah sekian tahun lamanya itu akan berkembang dan menjadi terkenal di media sosial. Dia juga bisa menyewa sendiri stan yang besar untuk pameran. Adapun penjahit tersebut, sudah tahu pelanggan banyak, mestinya rekrut orang untuk menyelesaikan tugas-tugas yang tidak terlalu vital. Kalau dia bisa menyelesaikan tumpukan bahan itu secepat mungkin, dia bisa berkembang dan ikut fashion show. Tuhan telah mencukupkan hasil sesuai dengan usaha dan keinginan umatnya.
Jadi, hidup itu cukup adil kan? Teman-teman yang punya cita-cita tinggi dan masih berusaha seperti saya, jangan pasrah dengan keadaan. Tak perlu iri dengan kemudahan yang diperoleh orang lain. Usaha terus dan berdoa yang rajin agar Allah memberikan rejeki yang berlimpah untuk mencapai cita-cita itu. Jika belum berhasil, mungkin usaha dan doa belum sesuai dengan cita-cita. Yuk benahi diri.
9 Comments
Masya Allah, yang pertama itu nampar sekali ya. Merasa cukup dgn rezeki yg didapat & gak maruk.
ReplyDeletesetuju. Termasuk juga pintar memanfaatkan peluang. kalo usaha bisa lebih besar ya why not? hitung-hitung bikin suplier senang, banyak orang yang kebagian, membuka lapangan kerja dan rejekinya bisa buat bangun mesjid, rumah panti, rumah belajar kaan. dan jangan lupa kontak saya buat desainnya...kaan kebagian rejeki juga sayanya kaan.
ReplyDeleteAllah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali hingga ia mau merubahnya sendiri.. positive thinking aja
ReplyDeleteAamiin :)
ReplyDeleteNggak kemaruk dalam arti yang sempit ya mbak Lusi. Ada juga orang yang komentar terhadap orang lain yang rajin : kerjo kok ngongso, padalo hasile yo podo wae. Duh, memang kita harus punya iman yang kuat dan teguh berpendirian ya, nggak usah dengerin omongan negatif :)
Kebanyakan orang selalu merasa nggak pernah cukup, pengennya nambah lagi..nambah lagi. Orang-orang seperti ini mungkin one in a million ya mbak Lus..
ReplyDeletepadahal kalau masak nasi di rice coocker pakai air mendidih bisa lebih cepat dari setengah jam juga ya mbak. hehehe pengalaman pribadibanget ini
ReplyDeleteseandainya warung satenya buka cabang di bekasi, pasti aku ngebet banget pengen nyobain kepala kambingnya:)
ReplyDeleteWah sayang sekali ya yang penjual sate itu, daging masih ada tapi tutup gara-gara nasi.
ReplyDeleteDi kotaku juga ada yg jual ayam goreng, buka jam 10 sekitar jam 1 biasanya sudah habis. Itu kalo stock ditambah masih laris deh kayaknya, tapi penjual nggak mau nambah stock lagi. Ya cukup segitu aja stocknya tiap hari kayaknya.
Membaca kisah-kisah nyata di atas memberi sanubari ini inspirasi bahwa memang terkadang kita perlu "sak madyo", namun jika ingin mendapatkan hasil maksimal maka optimalisasi doa dan usaha akan menghasilkan sesuatu yang warbiyasak.
ReplyDeleteMakasih ya Mbak Lusi sayang, atas quote pada paragraf paling bawah.
"Tak perlu iri dengan kemudahan yang diperoleh orang lain. Usaha terus dan berdoa yang rajin agar Allah memberikan rezeki yang berlimpah untuk mencapai cita-cita itu. Jika belum berhasil, mungkin usaha dan doa belum sesuai dengan cita-cita. Yuk benahi diri"
Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji