Warga yang sadar wisata membuat pariwisata Yogyakarta makin merajalela, sehingga memberikan pilihan yang tak pernah ada habisnya pada wisatawan.
Desa Wisata Brayut, tuan rumah Ngayogjazz 2014. Foto koleksi pribadi. |
Setiap membuka instagram, ada saja foto obyek wisata Yogyakarta yang diunggah. Instagram dan akun media sosial lainnya adalah media yang manjur sekali menyebarkan keindahan suatu tempat. Hasilnya juga langsung tampak, dengan membanjirnya foto-foto dengan latar belakang serupa. Wisatawan ingin mendapatkan kenang-kenangan yang sama indahnya. Misalnya yang sedang sangat diburu saat ini di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah latar belakang Tebing Breksi, Kalibiru dan Taman Buah Mangunan. Jauh sebelumnya, pantai-pantai seperti Indrayanti, Pok Tunggal dan Ngrenehan mendominasi foto wisatawan. Masih banyak lagi obyek wisata lain yang bergantian diunggah. Yogyakarta seolah tak pernah kehabisan obyek wisata baru. Belum lagi obyek wisata lama yang mulai merombak diri seperti pantai Parangtritis.
Pantai Indrayanti. Foto koleksi pribadi via slowtravelid.blogspot.co.id |
BERAWAL DARI MEDIA SOSIAL
Pariwisata di DIY pernah mengalami masa "tenang", dimana obyek wisata yang disajikan adalah seputar Keraton, pantai Parangtritis dan beberapa pantai Gunungkidul, Kaliurang dan candi Prambanan. Pemasukan dari candi Prambanan sendiri tak semuanya masuk ke kas DIY karena pintu masuknya berada di wilayah Jawa Tengah. Banyak wisatawan yang juga belanja di wilayah Jawa Tengah. DIY juga beruntung mendapat imbas dari pengunjung candi Borobudur. Diakuinya Borobudur sebagai World Heritage Centre oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) di tahun 1991 merupakan kabar baik bagi dunia pariwisata Indonesia, khususnya daerah sekitar candi, termasuk Yogyakarta. Meski Borobudur berada wilayah Magelang, Jawa Tengah, kebanyakan wisatawan menginap di Yogyakarta sehingga selalu dijadikan satu paket oleh para agen wisata Yogyakarta.
Komunitas Malam Museum Yogyakarta mengedukasi warga untuk cinta candi Borobudur dengan cara ikut memeliharanya. Foto koleksi pribadi. |
Sampai kemudian goa Pindul menyeruak dengan foto-foto asiknya yang memperlihatkan wisatawan menjelajahi sungai yang mengalir kedalam gua (river tubing). Dengan beralaskan ban dan bergandengan tangan, wajah-wajah ceria para wisatawan mendominasi media sosial. Semua orang ingin pergi ke goa Pindul untuk merasakan sensasi yang sama.
Kemudian menyusul pantai Indrayanti dengan pantai biru dan pasir putihnya. Orang-orang, terutama warga DIY tertegun. Ternyata pantai di DIY itu tidak hanya berisi deretan kamar mandi dan kuda, melainkan bisa juga untuk duduk-duduk cantik dibawah payung warna warni cerah seperti bule-bule di Bali. Foto-foto pantai Indrayanti mulai diunggah di media sosial. Dalam sekejap, pantai tersebut penuh dengan wisatawan dikala liburan. Ke Jogja menjadi tidak sah jika belum ke pantai Indrayanti.
Embung Nglanggeran. Foto koleksi pribadi via slowtravelid.blogspot.co.id |
Begitu masifnya wisatawan bisa didatangkan hanya dari unggahan foto para wisatawan di media sosial membuat darah pariwisata DIY bergejolak. Muncul kesadaran baru bahwa pariwisata bisa dibangkitkan asal bisa dipamerkan. Tak perlu iklan yang mewah atau pekan ini-itu yang menghabiskan anggaran daerah, meskipun DIY punya dana keistimewaan yang besar, dimana Sultan Hamengku Buwono X mendorong warga untuk menggunakan anggaran tersebut. Warga menyadari bahwa yang utama adalah wisatawan merasa senang dan bangga pernah berkunjung kesana.
PARIWISATA YANG MAJU BUTUH KERJA CERDAS
Meski media sosial sudah menggeliatkan pariwisata DIY, namun sebenarnya itu memiliki dua sisi. Sisi lainnya adalah wisatawan juga dengan cepat menyebarkan ketidakpuasannya. Pengelola obyek wisata dan pemerintah daerah harus cepat merespon untuk menghambat berita tidak baik tersebut.
Tebing Breksi, tempat selfie yang sedang hits. Foto koleksi pribadi via slowtravelid.blogspot.co.id |
Pada akhirnya, semua pihak yang hidup dari dunia pariwisata harus bekerja keras jika ingin mendulang hasil yang menguntungkan, tidak bisa lagi bersantai dibalik kebesaran nama Yogyakarta.
Obyek wisata DIY sudah berkembang sangat pesat sehingga menawarkan banyak alternatif pada wisatawan dan operator agen perjalanan wisata. Mereka bisa dengan cepat mengubah rencana perjalanan jika melihat testimoni yang kurang menyenangkan.
Setidaknya beberapa hal didaerah wisata ini sudah terlihat berbeda dibandingkan dengan jaman dulu:
1. Kebersihan. Memang sulit membuat wisatawan Indonesia sadar kebersihan. Sampah selalu berserakan dimana-mana. Pengelola harus memiliki inovasi untuk mengatasi masalah sampah ini. Ada sebuah pantai yang baru-baru ini terkenal dan langsung surut pengunjung gara-gara tidak bisa mengatasi sampah. Sementara pantai Indrayanti tetap bertahan dengan sistem denda bagi pembuang sampah sembarangan. Begitupula kamar mandi yang bersih sudah menjadi perhatian utama para pengelola.
Candi Sambisari yang rapi. Foto koleksi pribadi via slowtravelid.blogspot.co.id |
2. Keramahan. Ini elemen wajib karena pariwisata berada dalam industri hospitality. Wisatawan adalah pembelanja, pemilik uang, raja, sehingga tidak akan senang jika diteriaki tukang parkir atau dibentak satpam, meskipun untuk alasan ketertiban. Wajah-wajah jutek sebaiknnya menyingkir. Ini disadari benar oleh para pengelola obyek wisata generasi baru. Contohnya, ketika saya ke Embung Nglanggeran, petugas yang berseragam surjan lurik dengan ramah mengatur arus lalu lintas kendaraan. Bahkan meskipun ada mobil yang salah jalan masuk, mereka mengarahkan dengan santai dan mencoba memaklumi, tak perlu sempritan kencang.
3. Keteraturan. Impresi pertama yang akan membuat wisatawan punya harapan baik terhadap obyek yang akan dikunjunginya adalah keteraturan dari pintu masuk hingga tempat parkir. Demikian pula arus pengunjung didalam lingkungan obyek wisata. Wisatawan tidak keberatan mengantri seperti di Kalibiru yang hingga berjam-jam untuk foto di musim liburan asal ada antrian yang jelas urutannya, tidak saling serobot. Beberapa obyek wisata sudah dengan cerdas membedakan jalan masuk dan jalan keluar karena banyak obyek wisata yang berada di pedesaan dengan jalan sempit.
Pengaturan arus keluar masuk kendaraan di Embung Nglanggeran. Foto koleksi pribadi via slowtravelid.blogspot.co.id |
4. Ketertiban. Ketertiban disini antara lain tidak ada preman dan pungli. Embung Nglanggeran malah sudah menerapkan karcis yang dicetak seperti di mal untuk menertibkan administrasi. Ketertiban administrasi ini penting agar pendapatan yang masuk secara transparan bisa disalurkan untuk gaji petugas yang juga warga setempat dan untuk pemeliharaan atau pengembangan obyek wisata tersebut. Pungli oleh preman pernah menjamur di jalan menuju suatu obyek wisata pantai. Di tiap tikungan mereka meminta upah jasa karena membantu mengamankan jalan yang berkelok tajam. Ini sangat memberatkan wisatawan dan banyak yang menyampaikan keluhan. Pantai tersebut akhirnya kalah bersaing dengan pantai-pantai lain. Kabarnya, pungli tersebut sudah ditertibkan. Semoga warga sadar bahwa pembiaran pungli akan merugikan potensi mereka sendiri.
Jalan yang mulus sampai ke pelosok desa membantu kelancaran akses wisata. Foto koleksi pribadi |
5. Infrastruktur. Infrastruktur adalah terobosan terbesar yang dilakukan DIY. Berkat jalan muluslah pantai-pantai di Gunungkidul terbuka. Hasilnya bisa dirasakan langsung. Selalu saja ada pantai baru yang masuk ke deretan foto instagram tiap musim liburan. Padahal, bertahun-tahun yang lalu, daerah tersebut terisolir dan gersang. Pembangunan jalan butuh waktu yang sangat lama, seingat saya sepanjang masa kuliah saya disana, pembangunan tersebut belum selesai lantaran harus berhadapan dengan kontur alam dan pegunungan karst yang padas. Saat ini sedang dibangun jalan tembus dari kawasan wisata Gunungkidul ke kawasan wisata Lava Bantal di Sleman. Pemerintah DIY berambisi membuat semua obyek wisata terkoneksi dengan baik.
6. Atraksi. Meski panggung dangdut masih diadakan di beberapa obyek wisata, namun ada pergeseran yang cukup signifikan terhadap jenis atraksi yang disukai wisatawan saat ini. Wisatawan lebih menyukasi atraksi yang melibatkan mereka, seperti spot foto, pelepasan tukik, penanaman bakau atau event olahraga seperti menyelam, yoga dan lari. Jikapun tontonan, mereka lebih menyukai yang mengandung tradisi, seperti pesta panen, pesta tanam, ritual adat, larung, dan sebagainya. Contohnya Festival Gerobak Sapi tahunan yang diadakan di daerah Prambanan dan selalu meriah.
Pasar Kangen. Foto koleksi pribadi. |
BENTUK KETERLIBATAN WARGA DI INDUSTRI PARIWISATA
Warga sekitar obyek wisata adalah pemeran utama makin majunya pariwisata DIY.
Anak-anak muda muncul sebagai inisiator, sedangkan generasi sebelumnya menempatkan diri sebagai penyeimbang agar tetap memperhatikan local wisdom. Pemerintah DIY sebagai pemimpin kemajuan pariwisata bertugas memberikan jalan dan kontrol bagi inovasi daerah.
Sebagai contoh, Sugeng Handoko, anak muda warga setempat, perintis kegiatan wisata di Gunung Api Purba Nglanggeran yang baru berusia 27 tahun. Sebagai orang yang paham betul kondisi alam didaerahnya, Sugeng mengerti bagaimana cara menggerakkan tetangga-tetangganya untuk bersama-sama mengelola kegiatan yang berdampak ekonomi tersebut dalam sebuah wadah kelompok sadar wisata (pokdarwis).
Setidaknya ada beberapa inisiatif dan program pariwisata yang telah dilakukan di DIY.
1. Pengelolaan mandiri. Pengelolaan mandiri ini dilakukan oleh perorangan yang bekerjasama dengan warga setempat. Kerjasama dengan warga setempat ini sangat vital karena biasanya akses masuk ke obyek wisata terbatas dan melewati perkampungan. Dengan kerjasama tersebut, warga dengan senang hati akan membantu kelancaran usah tersebut karena mendapatkan keuntungan dalam bentuk mata pencaharian dan berjualan. Contohnya Desa Wisata Kembangarum dan pantai Indrayanti.
Desa Wisata Kembangarum. Foto koleksi pribadi. |
2. Kelompok Sadar Wisata (pokdarwis). Pokdarwis didirikan atas inisiatif warga. Biasanya setelah pokdarwis terbentuk akan mendapatkan dukungan dari Dinas Pariwisata DIY karena pokdarwis didirikan setelah ada kesepakatan diantara anggota tentang obyek wisata yang akan dikembangkan. Dengan tujuan yang sudah jelas, lebih mudah bagi Dinas Pariwisata untuk merencanakan dukungan atau bantuan yang akan diwujudkan.
3. Desa Sadhar Wisata atau Deswita. Program ini cakupannya lebih luas dari pokdarwis karena tidak hanya fokus pada satu obyek wisata tertentu. Biasanya deswita memiliki kegiatan festival budaya yang melibatkan hampir seluruh wilayah desa atau integrasi berbagai kegiatan dalam satu desa terasebut. Contoh kegiatan integrasi tersebut misalnya pemilik peternakan, perkebunan dan sawah diberi kesempatan untuk menerima rombongan wisatawan. Sedangkan penduduk lain yang tidak punya lahan seperti itu bisa menyediakan makanan ala pedesaan.
|
4. Desa Wisata atau Dewi. Ini istilah yang belakangan sering muncul karena catchy. Sebenarnya tidak beda dengan deswita, mungkin lebih singkat saja pengucapannya. Singkatan ini pula yang digunakan oleh Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X, untuk meluncurkan program 1 Hotel - 1 Dewi. Pertumbuhan hotel yang sangat pesat di Jogja menimbulkan banyak keresahan karena menyempitnya ruang publik. Program tersebut adalah salah satu terobosan untuk membuat wisatawan menghabiskan waktu tak hanya berdesakan di kota, melainkan juga menyebar, menyaksikan sisi Yogyakarta yang lain. Hotel juga membutuhkan kegiatan yang membuat wisatawan menginap lebih lama, sedangkan wisatawan datang ke Jogja tujuannya pasti tidak untuk menikmati hiburan modern ala kota-kota besar. Kekosongan ini bisa dipenuhi oleh dewi. Sementara dewi membutuhkan lokomotif penggerak perekonomian desa. Simbiosis mutualisme ini diharapkan mampu memajukan industri pariwisata DIY. Sudah ada 21 hotel dan 21 dewi yang bergabung di tahap awal yang baru dimulai Mei 2016 lalu.
5. Kampung Wisata. Inisiatif kampung wisata ini datang dari Dinas Pariwisata DIY. Bedanya dengan dewi adalah, kampung wisata ini terletak di kota. Karena itu, jika datang ke kota Yogyakarta, teman-teman akan melihat plang-plang dengan tulisan Kampung Wisata Kauman, Kampung Wisata Purbayan, Kampung Wisata Tahunan dan sebagainya. Masing-masing menonjolkan potensi kampungnya. Berhubung di wilayah perkotaan, maka atraksi yang ditawarkan tidak bisa terlalu banyak bertema alam, misalnya Jagalan Fair di Kampung Purwokinanti, batik jumutan di Kampung Tahunan atau Festival Budaya Tionghoa di Kampung Ketandan. Yogyakarta bahkan juga punya Kampung Cyber di Tamansari.
Sentra Gudeg Barek. Koleksi foto pribadi. |
Apresiasi adalah motivator terbaik dalam setiap usaha keras. Apresiasi langsung dari pemerintah DIY adalah dengan menetapkan Desa Wisata Wukirsari Imogiri, Kabupaten Bantul, sebagai juara 1 lomba desa dan kampung wisata 2016 tingkat propinsi. Dewi ini terkenal dengan kerajinan wayang dengan teknik tatah sungging. Wayang sudah diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO pada tahun 2003, dan ini merupakan tambahan kabar baik untuk Indonesia. Wisatawan bisa belajar membuat wayang dan membawanya pulang sebagai cendera mata.
POTENSI LOKAL YANG BOOMING
Sudah napak tilas perjalanan Cinta dan Rangga di Yogyakarta? Ada Apa Dengan Cinta turut berjasa membuat wisata Jogja booming di kalangan anak muda. Wisata Jogja tak lagi hanya sebuah cerita menyenangkan bagi keluarga tapi juga kisah kasih bagi pasangan muda. Ini membuktikan bahwa untuk disukai di berbagai kalangan, tak perlu mengikuti yang serba modern tapi cukup dengan mengasah potensi lokal. Penggagas Jogja sebagai lokasi film Ada Apa Dengan Cinta 2 tentu sudah melalui riset yang mendalam tentang tempat-tempat yang khas dan romantis.
Pak Bari Jejeran sekarang tidak hanya tentang sate klathak tapi juga tentang kisah kasih Cinta dan Rangga. Foto koleksi pribadi via slowtravelid.blogspot.co.id |
Buah dari partisipasi warga yang total dalam industri pariwisata Yogyakarta adalah obyek wisata yang ngyogyani, khas Yogyakarta, tapi berevolusi untuk memenuhi gaya travelling masakini yang akrab dengan publikasi dan memahami betul prinsip-prinsip dalam industri hospitality yang berlaku umum.
Disclaimer: www.beyourselfwoman.com dan slowtravelid.blogspot.co.id sama-sama milik saya.
Disclaimer: www.beyourselfwoman.com dan slowtravelid.blogspot.co.id sama-sama milik saya.
25 Comments
Sedih banget memang kl ke t4 wisata yg kumuh karena sampah2 pengunjung cuma digeletakin gitu aja. Dan sayang banget ketika obyek wisata jadi kotor krn tangan2 jahil yg mencorat coret sekitar. Semoga kesadaran menjaga lingkungan t4 wisata terus disosialisasikan dan diberi sanksi yg tegas utk yg merusak atau mengotori t4 wisata.
ReplyDeleteBetul. Seindah apapun alamnya kalau sekitarnya kotor, nggak ada yang mau kesana.
DeleteLuar biasa sekali wisata dan potensi daerah wisata Jogja ini ya. Betul, jika warga tidak sadar wisata, semua akan tertinggal bahkan musnah. Nice artikel. Semoga kesadaran itu akan terus tertanam dan bertumbuh dengan baik. Aamiin
ReplyDeleteOrang jaman sekarang kalau kecewa cepat banget nyebarnya :(
DeleteTempat wisata di Jogja semakin menjamur. Kadang heboh di sosmed tapi ternyata biasa2 saja karena fasilitasnya kurang mendukung. Yang paling ngeselin kalau ga ada tempat sampah dan toilet memadai
ReplyDeleteFoto selalu lebih bagus :))
DeleteWisata makin rame tapi disisi lain bikin jogja jd macet dan hotel juga semakin menjamur. Warga asli malah jadi jarang bisa piknik klo pas liburan mending diem di rumah dulu.
ReplyDeleteNgalah ya heheheee besok2 kan bisa, besok kapan tau :))
DeleteBener banget Mak, media sosial ini berperan penting sebagai salah satu 'marketing' wisata di seluruh Indonesia. Dan honestly, aku pun tau beberapa tempat terbaru di Yogya itu dari FB dan IG :D dahsyat memang medsos ya :D heheheh
ReplyDeleteNah, salah satu poin yang keteraturan itu, mesti diterapkan di tempat-tempat wisata, karena ada beberapa yang masuknya itu sembarang saja *sebal
Aku aja yg orang sini sering kaget2, itu obyek baru mana lagi hahahaaa
DeletePariwisata Jogja memang seperti ngga ada habisnya untuk terus dieksplor ya mba, selaluuu aja ada tempat baru yang menarik. Peernya mungkin dari sisi kebersihan yang kudu slalu diperhatiin. Sama sih, di Sumut sini juga masalah kebersihan masih terhitung kurang banget, masyarakat dan pengunjungnya belum sadar :(.
ReplyDeleteKebersihan memang masalah besar pariwisata negeri ini. Aku pengin ke SUmut lagi eh, pemandangannya bagus. Dulu aja udah seneng banget, apalagi sekarang byk teman disana dr ngeblog :))
DeleteDi desaku ternyata ada beberapa Kampung Wisata, seperti Kampung Wisata Purwomartani, Condong Catur dan Wedomartani, ada yang dirawat, ada yang ya dibiarkan begitu saja sama warganya.
ReplyDeleteMayoritas kampung wisata itu awalnya karena anak-anak kuliah yang KKN, trus lihat potensi wisata, mereka kembangin. Harusnya seperti ini didukung sama pemkab setempat ya, tapi warga yang lebih peduli.
Yang terpenting memang antusiasme warganya.
DeleteAnak anak sy lg ngebet ke musium de mata dan dunia terbalik. #bukan wisata alam. Hehe...
ReplyDeleteAsik itu mbak, agak mahal aja krn kan bikinan sekarang, bahan2 mahal heheee
DeleteYang tinggal di jogja aja ampe bingung mau dulu ya? SAKING akehe.
ReplyDeletetp aku tetep menanti saat tempat2 wisata jogja bisa dijangkau dengan duduk manis di buskota ;D
Lah berarti cuma ke prambanan aja itu nyampainya :))
DeleteAku berharap Pekalongan makin siap jadi tempat wisata...yang ngga cuma wisata numpang lewat alias daerah transit
ReplyDeleteGak papa transit jalur pantura tapi transitnya yang lama, minimal semalam untuk keliling Pekalongan :D
DeleteDesa wisata memang cakep-cakep ya mba. Dan wisata kuliner kita memang juaraa..semoga semua makin sadar namun bisa meminimalisir dampak negatif pariwisata :)
ReplyDeleteIya mbak, butuh kerja keras untuk mengubah kebiasaan hidup bersih
Deletebener-bener, buat saya setiap sudut Jogja adalah wisata, susah untuk tidak menikmatinya.Sering jadi rekomendasi buat daerah lain, rasanya apa-apa saja ada disana. (Dari penikmat Jogja)
ReplyDeleteAlhamdulillah. Kapan ke jogja lagi? :))
DeleteTempat wisata di Jogya semakin banyak aja ya. Aku taunya cuma malioboro sama pantai Parangtritis aja. Kuliner jogya taunya cuma gudeg.
ReplyDeleteAaaah jadi pengin ke Jogya lagi, pengin kopdar dengan sahabat2 blogger Jogya yg keren-keren *termasuk yg punya blog ini :D
Dear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji