Usia 17 tahun dianggap sebagai ambang kedewasaan karena anak-anak mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk pertama kalinya, yang berarti harus siap mempertanggungjawabkan perilakunya secara hukum.
Anak-anak dan orangtuanya seringkali tidak sabar menunggu usia 17 tahun sehingga mencuri-curi celah untuk melakukan hal yang belum saatnya. Contoh kecil, membuatkan akun anak-anaknya yang masih bayi, meski jelas-jelas sebagian besar media sosial meminta batasan usia 13 tahun, bahkan ada yang 17 tahun. Contoh kecil tersebut lama-lama tidak lagi menjadi perhatian karena semua orang melakukannya dan menerimanya.
Jangankan masalah kecil, masalah besar yang bisa merugikan diri sendiri dan membahayakan orang lain saja tak jarang malah dianggap keren jika berani melanggarnya. Beberapa hari lalu teman anak saya, yang kemudian menjadi adik kelas karena anak saya lompat kelas, mengalami kecelakaan saat mengendarai sepeda motor cc besar hingga menewaskan orang lain. Mirisnya, peristiwa itu terjadi ketika dia berangkat merayakan hari ulang tahunnya bersama teman-temannya. Dia sendiri tewas. Tak ada simpati yang mengiringi kematiannya, malah bertubi cacian terhadap dirinya yang sudah almarhum dan orangtuanya mengingat anak tersebut masih SMP.
Masih banyak lagi contoh yang memperlihatkan bagaimana anak-anak dan orangtua tidak sabar menanti si anak tumbuh sesuai dengan waktunya. Namun, ketika mereka menginjak 17 tahun, tak jarang yang terjadi malah sebaliknya, melakukan banyak perbuatan yang tidak bertanggung jawab sesuai dengan hukum yang mengikat mereka. Ketika terjadi tawuran dan polisi menangkap mereka, para orangtua datang menghiba-hiba agar polisi membebaskan anak mereka dan meminta polisi memaklumi kenakalan anak-anak. Anak-anak yang ber-KTP. Heheee....
Ketika masih dibawah 17 tahun, anak-anak penasaran dan ingin mendapat privilege seperti orang dewasa. Tapi ketika masa itu sudah sampai, mereka malah gamang karena menjadi dewasa itu tidaklah mudah. Sementara itu, orangtuanya juga terkaget-kaget, cepat sekali anak-anak besar. Mereka sama gamangnya dengan anak-anak dan mencari-cari apa yang seharusnya beda.
Jadi, dibawah ini adalah yang harus ibu lakukan ketika ananda berusia 17 tahun secara umum. Hal lain, terutama soal pendidikan dan akhlak, bergantung pada idealisme masing-masing keluarga sehingga tidak saya bahas.
1. Membuat KTP. Hal pertama yang harus dilakukan ketika berusaha 17 tahun adalah membuat KTP. Jika lebih dari 2 minggu tidak mengurus KTP, maka akan dikenakan denda. Mungkin peraturan di kota lain berbeda, tapi demikianlah di kota saya. Prosesnya cukup mudah. Tinggal minta pengantar di RT, minta cap RW dan minta formulir ke kelurahan. Setelah itu foto di kecamatan. Fotonya juga cepet, cuma 5 menit menunggu. Seminggu kemudian e-ktp sudah jadi. Di kecamatan saya bahkan akan di WA oleh petugas jika e-ktp sudah jadi. Keren ya? Semuanya gratis. Tapi demi ikut membantu biaya operasional RT, nyumbang aja deh seikhlasnya. Yang penting ada kwitansi.
2. Membuat SIM. Bebas berkendara adalah yang paling diincar anak-anak. Di kampung saya kalau sore hari atau hari Minggu, banyak anak-anak masih piyik setara SD wara wiri belajar naik sepeda motor. Sebenarnya untuk SIM C sudah bisa dimiliki di usia 16 tahun, tapi banyak orangtua yang menunda hingga usia 17 tahun sekalian biar punya KTP. Tak sedikit yang menghadiahi anak mereka dengan sepeda motor di ulang tahun mereka yang ke 17 karena syarat punya STNK adalah KTP. Karena itu sebenarnya kalau menuduh anak SMP pasti tidak punya SIM bisa salah juga loh. Ada yang 16 tahun masih SMP, kebanyakan di semester akhir. Sebaliknya belum tentu anak SMA sudah layak dapat SIM. Contohnya anak saya baru bisa punya SIM pada waktu kuliah nanti.
3. Tanggung jawab hukum. Anak-anak harus diberi penegasan (bukan sekedar pemberitahuan) bahwa apapun yang mereka lakukan bisa berakibat hukum. Contoh kecil, berantem dengan pacar lalu membully di medsos bisa tersangkut UUITE pasal perbuatan tidak menyenangkan. Contoh lain yang lebih serius misalnya mengeroyok orang lain atas nama solidaritas.
Baca: Klitih, Kejahatan Remaja dan Tanggung Jawab Orang Tua
4. Pemilih pemula. Mengajak anak-anak menjadi pemilih yang aktif dan bertanggung jawab. Berilah pemahaman bahwa mereka memiliki peran menentukan masa depan bangsa yang otomatis masa depan mereka juga. Tugas orangtua ini cukup berat, nggak cuma mengajak anak-anak masuk bilik suara. Anak-anak harus diberi guideline cara menjadi pemilih cerdas. Perbedaan preferensi politik tidak boleh membuat mereka membenci pihak lain secara berlebihan. Ini sulit, mengingat orang dewasa saja saling serang baik secara verbal maupun fisik. Jangan sampai mereka membenarkan dinamika politik yang demikian.
5. Kartu pass untuk banyak keperluan. Naik pesawat, naik kereta api, keluar negeri, bahkan mengambil hadiah lomba juga perlu KTP. Jadi memiliki KTP juga sekalian berlatih tanggung jawab menjaga benda-benda milik pribadi yang penting, nggak lagi meminta orangtua mengurus semuanya.
Selain hal-hal paling penting diatas, masih banyak pembekalan yang harus diberikan karena tak jarang ketika sudah merasa dewasa, mereka terlalu percaya diri sehingga tak mau mendengarkan nasehat orang lain. Kedewasaan tidak hanya berhubungan dengan tindakan hukum tapi juga dalam pergaulan, misalnya tidak boleh PHP-in anak orang, menghormati orang yang lebih tua, menghargai orang yang berilmu, memiliki empati terhadap orang yang lemah dan sebagainya.
3. Tanggung jawab hukum. Anak-anak harus diberi penegasan (bukan sekedar pemberitahuan) bahwa apapun yang mereka lakukan bisa berakibat hukum. Contoh kecil, berantem dengan pacar lalu membully di medsos bisa tersangkut UUITE pasal perbuatan tidak menyenangkan. Contoh lain yang lebih serius misalnya mengeroyok orang lain atas nama solidaritas.
Baca: Klitih, Kejahatan Remaja dan Tanggung Jawab Orang Tua
4. Pemilih pemula. Mengajak anak-anak menjadi pemilih yang aktif dan bertanggung jawab. Berilah pemahaman bahwa mereka memiliki peran menentukan masa depan bangsa yang otomatis masa depan mereka juga. Tugas orangtua ini cukup berat, nggak cuma mengajak anak-anak masuk bilik suara. Anak-anak harus diberi guideline cara menjadi pemilih cerdas. Perbedaan preferensi politik tidak boleh membuat mereka membenci pihak lain secara berlebihan. Ini sulit, mengingat orang dewasa saja saling serang baik secara verbal maupun fisik. Jangan sampai mereka membenarkan dinamika politik yang demikian.
5. Kartu pass untuk banyak keperluan. Naik pesawat, naik kereta api, keluar negeri, bahkan mengambil hadiah lomba juga perlu KTP. Jadi memiliki KTP juga sekalian berlatih tanggung jawab menjaga benda-benda milik pribadi yang penting, nggak lagi meminta orangtua mengurus semuanya.
Saya tidak memasukkan soal reproduksi didaftar tersebut karena reproduksi seharusnya diperkenalkan secara perlahan sejak kecil dan makin detil ketika mereka akil baliq. Baru mengenalkan reproduksi ketika berusia 17 tahun itu sudah terlambat.
Selain hal-hal paling penting diatas, masih banyak pembekalan yang harus diberikan karena tak jarang ketika sudah merasa dewasa, mereka terlalu percaya diri sehingga tak mau mendengarkan nasehat orang lain. Kedewasaan tidak hanya berhubungan dengan tindakan hukum tapi juga dalam pergaulan, misalnya tidak boleh PHP-in anak orang, menghormati orang yang lebih tua, menghargai orang yang berilmu, memiliki empati terhadap orang yang lemah dan sebagainya.
3 Comments
adiku tahun ini 17, dia udah notice mau bikin SIM
ReplyDelete7 tahun lagi mbak aku harus melakukan ini.
ReplyDeleteSoal motor..iya, anak SD juga sudah bnyk yang dilatih naik motor, ktnya biar bisa antar ibunya kesana kemari..
Semoga aku dan suami tetep konsisten dengan niat, anak sma baru boleh motoran.
aku masih tunggu 7 tahun lagi buat Bo :)
ReplyDeleteDear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji