Hobi itu adalah pengeluaran, sedangkan bisnis itu adalah penghasilan. Demikian yang sering terlintas dalam pikiran saya meski bisnis belum tentu sukses jadi penghasilan. Karena hobi adalah kegiatan yang sangat kita sukai, kita tak pernah menyebut uang yang kita habiskan disana sebagai pengeluaran. Hal itu sama sekali bukan masalah jika kita masih dikasih jatah oleh orangtua, dapat nafkah dari suami atau kita punya pekerjaan lain. Bagaimana jika tidak ada dukungan dari ketiganya atau ada dukungan tapi kurang?
Katakanlah umurmu 30 tahun, hobi ngeblog, serumah dengan orangtua, wifi tak pernah ikut bayar, listrik gratis, makan dimasakkan ibu dan motor pinjam bapak. Sesekali ikut event blogger dan dapat fee untuk membayar domain dan beli pulsa. Akankah masih terus bertahan dengan, "Ngeblog tu hobi kok, nggak ngoyo cari uang. Dapat sponsored post ya syukur, nggak dapat juga nggak apa-apa."
Suatu hari, dalam Whatsapp chat, Carolina Ratri (Carra) ngobrol sedikit tentang masa awal jadi freelancer. Tantangan menjadi freelancer adalah no clue. Saya juga begitu, mengikuti saja kemana hobi ini mengalir, bahkan sampai sekarang. Tapi Carra beda. Dia kemudian tahu bahwa dunianya adalah menulis. Maka dia tinggalkan semuanya dan hanya fokus menulis, baik dalam bentuk cetak maupun digital.
Jika mungkin masih banyak yang terjebak diantara 2 dunia itu, yaitu kalau pas dapat uang jadi freelancer, kalau pas tidak ada penghasilan dianggap hobi, sebaiknya segera memutuskan akan jadi apa. Jika tetap jadi hobi, carilah penghasilan lain untuk membiayai hobi tersebut. Jika ingin menjadi freelancer maka harus total di bidang itu termasuk dalam hal research, development, production dan marketing, apapun bidangnya.
Baca juga: Pengalaman Ikut Popup Market Pasar Santai Yogya
Sering kan mendengar orang mengatakan, "Passionku masak."
Passion itu lebih dari hobi, atau hobi yang kebangetan gitu lah. Kalau hobi sifatnya rekreatif, maka passion itu enggak bisa enggak melakukan hobi itu.
Beberapa waktu lalu, seorang dokter membuat thread panjang di twitter soal passion. Dia bilang, lupakan passion lebih dulu sampai kebutuhan dasar terpenuhi. Apa yang terjadi? Selama dia menjadi dokter PTT yang jauh di daerah terpencil dengan penghasilan seupil, dia nyambi jadi apa saja termasuk jadi makelar. Ketika keadaan membaik bertahun-tahun kemudian, bolehlah passion diteruskan.
Wah, passion bisa dihentikan dulu seperti itu ya? Tentu saja bisa bagi yang tahu diri! Sebesar apapun hasrat mengejar passion, pikiran masih bisa dibawa realistis jika mau. Misalnya tentang blogger 30 tahun tadi, yang makin hari makin cinta ngeblog sehingga menjadikannya passion. Setiap hari ada saja yang diposting. Tapi dia lupa, kondisinya itu adalah privilege. Tanpa orangtuanya dia tak bisa menjalankan passionnya. Orangtuanya pun lama-lama tak akan mampu mendukung passionnya karena usia.
Kalau memang sudah passion, tak bisa hidup tanpanya, mengapa tidak sekalian menjadikannya sumber penghasilan? Tak ada passion yang dikorbankan dan tak ada hobi yang dianggap sebagai mesin penyedot uang. Dan yang paling penting, bisa dijadikan nafkah untuk diri sendiri, keluarga maupun orang lain. Give yourself some respects!
Hobi Jadi Bisnis adalah buku terbaru Carolina Ratri. Saya mengulasnya bukan semata karena nama saya disebut dihalaman persembahan (Terima kasih kembali, Carra. Muah muah :D) tapi karena buku ini sangat berhubungan dengan tema-tema diskusi dengan anak-anak saya.
Di halaman awal, Carra langsung mengangkat kisah Yoyok Heri Wahyono pemilik SS atau Special Sambal. Figur Yoyok sangat dekat dengan mahasiswa-mahasiswa di kampus anak saya. Anak saya sendiri sudah beberapa kali mendapatkan sharing darinya yang kadang membuat saya takjub dengan cara pandangnya yang sangat relevan di lapangan tapi tak pernah terlintas dalam pikiran saya.
Contohnya ketika kami makan di cabang terbesar, terbaru dan termodernnya tapi kok pelayanannya justru lama banget dibandingkan dengan cabang lain? Kata anak saya, mas Yoyok pernah bilang jika teknologi canggih itu bagus tapi bisa juga justru memperlambat pekerjaan jika belum sepenuhnya terlatih. Lalu kami iseng ke dapurnya dan ya ampun, memang benar, banyak layar besar canggih disana untuk mengatur pesanan tapi tampaknya para pegawai masih kebingungan. Lalu anak saya mengatakan, "Tenang mah, biar aku komplain ke ownernya. Aku dikasih nomor hpnya."
Di buku Hobi Jadi Bisnis ini, kisah Yoyok dan Herlina (pendiri Stilleto Book yang menerbitkan buku ini) adalah favorit saya. Alasannya karena mereka sukses berkat perencanaan matang. Mereka tahu apa yang mereka maui dan mereka tahu apa yang mereka kerjakan. Sebagai orang yang lebih percaya pada kerja keras dibandingkan dengan keberuntungan-keberuntungan, saya baca tuntas kisah mereka yang memperlihatkan langkah-langkah konkrit dan berani tapi tetap terukur.
Baca juga: How To Join Small Craft Fair
1. Di buku Hobi Jadi Bisnis ini diungkap cara melihat SWOT (Strength, Weaknesses, Oppotunities and Threats), persiapan modal dan time planning dari bulan ke bulan.
2. Buku ini mengungkap 29 hobi yang bisa dijadikan bisnis dan bagaimana caranya.
3. Buku ini juga merinci cara melambungkan bisnis kita.
Apakah buku ini mudah dimengerti? Tentu saja! Bapak-bapak, ibu-ibu, pensiunan dan remaja bisa dengan mudah memahami. Anak saya saja langsung menyimak karena meski dia masih kecil tapi sudah punya merk buat calon produk bakpaonya. Heheheee.
Yang dibutuhkan untuk memahami dan mempraktekkan isi buku ini adalah, ambil kertas, pegang pulpen dan cari tempat yang tenang untuk membaca. Insya Allah hobi, passion, idealisme, cita-cita dan impian bisa disatukan dalam bisnis idaman tanpa banyak mengorbankan kesenangan.
Cara mendapatkan buku ini:
HOBI VS FREELANCE
Katakanlah umurmu 30 tahun, hobi ngeblog, serumah dengan orangtua, wifi tak pernah ikut bayar, listrik gratis, makan dimasakkan ibu dan motor pinjam bapak. Sesekali ikut event blogger dan dapat fee untuk membayar domain dan beli pulsa. Akankah masih terus bertahan dengan, "Ngeblog tu hobi kok, nggak ngoyo cari uang. Dapat sponsored post ya syukur, nggak dapat juga nggak apa-apa."
Banyak yang masih gengsi menguangkan hobinya, bahkan ketika sebenarnya hanya hobi itu yang dia punyai untuk bisa dikembangkan menjadi penghasilan.
Suatu hari, dalam Whatsapp chat, Carolina Ratri (Carra) ngobrol sedikit tentang masa awal jadi freelancer. Tantangan menjadi freelancer adalah no clue. Saya juga begitu, mengikuti saja kemana hobi ini mengalir, bahkan sampai sekarang. Tapi Carra beda. Dia kemudian tahu bahwa dunianya adalah menulis. Maka dia tinggalkan semuanya dan hanya fokus menulis, baik dalam bentuk cetak maupun digital.
Jika mungkin masih banyak yang terjebak diantara 2 dunia itu, yaitu kalau pas dapat uang jadi freelancer, kalau pas tidak ada penghasilan dianggap hobi, sebaiknya segera memutuskan akan jadi apa. Jika tetap jadi hobi, carilah penghasilan lain untuk membiayai hobi tersebut. Jika ingin menjadi freelancer maka harus total di bidang itu termasuk dalam hal research, development, production dan marketing, apapun bidangnya.
Baca juga: Pengalaman Ikut Popup Market Pasar Santai Yogya
HOBI ATAU PASSION
Sering kan mendengar orang mengatakan, "Passionku masak."
Passion itu lebih dari hobi, atau hobi yang kebangetan gitu lah. Kalau hobi sifatnya rekreatif, maka passion itu enggak bisa enggak melakukan hobi itu.
Beberapa waktu lalu, seorang dokter membuat thread panjang di twitter soal passion. Dia bilang, lupakan passion lebih dulu sampai kebutuhan dasar terpenuhi. Apa yang terjadi? Selama dia menjadi dokter PTT yang jauh di daerah terpencil dengan penghasilan seupil, dia nyambi jadi apa saja termasuk jadi makelar. Ketika keadaan membaik bertahun-tahun kemudian, bolehlah passion diteruskan.
Wah, passion bisa dihentikan dulu seperti itu ya? Tentu saja bisa bagi yang tahu diri! Sebesar apapun hasrat mengejar passion, pikiran masih bisa dibawa realistis jika mau. Misalnya tentang blogger 30 tahun tadi, yang makin hari makin cinta ngeblog sehingga menjadikannya passion. Setiap hari ada saja yang diposting. Tapi dia lupa, kondisinya itu adalah privilege. Tanpa orangtuanya dia tak bisa menjalankan passionnya. Orangtuanya pun lama-lama tak akan mampu mendukung passionnya karena usia.
Kalau memang sudah passion, tak bisa hidup tanpanya, mengapa tidak sekalian menjadikannya sumber penghasilan? Tak ada passion yang dikorbankan dan tak ada hobi yang dianggap sebagai mesin penyedot uang. Dan yang paling penting, bisa dijadikan nafkah untuk diri sendiri, keluarga maupun orang lain. Give yourself some respects!
HOBI JADI BISNIS
Hobi Jadi Bisnis adalah buku terbaru Carolina Ratri. Saya mengulasnya bukan semata karena nama saya disebut dihalaman persembahan (Terima kasih kembali, Carra. Muah muah :D) tapi karena buku ini sangat berhubungan dengan tema-tema diskusi dengan anak-anak saya.
Di halaman awal, Carra langsung mengangkat kisah Yoyok Heri Wahyono pemilik SS atau Special Sambal. Figur Yoyok sangat dekat dengan mahasiswa-mahasiswa di kampus anak saya. Anak saya sendiri sudah beberapa kali mendapatkan sharing darinya yang kadang membuat saya takjub dengan cara pandangnya yang sangat relevan di lapangan tapi tak pernah terlintas dalam pikiran saya.
Contohnya ketika kami makan di cabang terbesar, terbaru dan termodernnya tapi kok pelayanannya justru lama banget dibandingkan dengan cabang lain? Kata anak saya, mas Yoyok pernah bilang jika teknologi canggih itu bagus tapi bisa juga justru memperlambat pekerjaan jika belum sepenuhnya terlatih. Lalu kami iseng ke dapurnya dan ya ampun, memang benar, banyak layar besar canggih disana untuk mengatur pesanan tapi tampaknya para pegawai masih kebingungan. Lalu anak saya mengatakan, "Tenang mah, biar aku komplain ke ownernya. Aku dikasih nomor hpnya."
Di buku Hobi Jadi Bisnis ini, kisah Yoyok dan Herlina (pendiri Stilleto Book yang menerbitkan buku ini) adalah favorit saya. Alasannya karena mereka sukses berkat perencanaan matang. Mereka tahu apa yang mereka maui dan mereka tahu apa yang mereka kerjakan. Sebagai orang yang lebih percaya pada kerja keras dibandingkan dengan keberuntungan-keberuntungan, saya baca tuntas kisah mereka yang memperlihatkan langkah-langkah konkrit dan berani tapi tetap terukur.
Baca juga: How To Join Small Craft Fair
Lalu, bagaimana sih cara menjadikan hobi sebagai bisnis?
1. Di buku Hobi Jadi Bisnis ini diungkap cara melihat SWOT (Strength, Weaknesses, Oppotunities and Threats), persiapan modal dan time planning dari bulan ke bulan.
2. Buku ini mengungkap 29 hobi yang bisa dijadikan bisnis dan bagaimana caranya.
3. Buku ini juga merinci cara melambungkan bisnis kita.
Apakah buku ini mudah dimengerti? Tentu saja! Bapak-bapak, ibu-ibu, pensiunan dan remaja bisa dengan mudah memahami. Anak saya saja langsung menyimak karena meski dia masih kecil tapi sudah punya merk buat calon produk bakpaonya. Heheheee.
Yang dibutuhkan untuk memahami dan mempraktekkan isi buku ini adalah, ambil kertas, pegang pulpen dan cari tempat yang tenang untuk membaca. Insya Allah hobi, passion, idealisme, cita-cita dan impian bisa disatukan dalam bisnis idaman tanpa banyak mengorbankan kesenangan.
Cara mendapatkan buku ini:
- Beli di toko buku
- Email: info@stilettobook.com
- Fan Page: Stiletto Book
- Twitter: @Stiletto_Book
- Instagram: @Stiletto_Book
6 Comments
makasih sharingnya
ReplyDeleteSama2 :)
DeleteMenarik banget bukunya mba, jadi pengin baca. Aku penggemar bukunya mba Carolina Ratri dari yang blogging have fun and get money, Walau belum nerapin full seperti mba berdua hahaha...
ReplyDeleteAyo diterapin mbak karena Carra praktisi jadi tahu benar.
DeleteHobiku belum jadi bisnis beneran. Mungkin aku harus baca buku ini, ya?
ReplyDeleteYuuuk dibisnisin :))
DeleteDear friends, thank you for your comments. They will be appeared soon after approval.
Emoji